02/12/13

Penyebab Populernya Novel Dan Epos Bertema Sejarah


Ide tak pernah habis-habis di kepala para penulis, jika melihat dari semakin beragamnya novel-novel yang sering dijumpai di rak-rak di toko buku. Dengan pilihan tema beragam, pembaca yang haus akan bacaan dimanjakan dengan tulisan. Entah itu novel luar negeri seperti Harry Potter, Narnia, The Lord Of The Ring, dan lain-lain, maupun novel dari dalam negeri.

Namun tentu saja karena semakin banyaknya persaingan di pasaran menyangkut kepopuleran novel, para penulis pun berlomba-lomba mencari tema seunik dan semenarik mungkin agar novel mereka tidak tenggelam di tengah semakin banyaknya novel-novel baru yang diterbitkan. 
Yang menjadi faktor apakah novel itu akan terus berada di permukaan atau akan tenggelam, tentu saja adalah pembaca. Apabila pembaca dan novel tidak memiliki kesesuaian, maka tenggelamlah novel tersebut. Penulis harus mampu memberi ikatan yang kuat antara novel dengan pembaca, dan ini menjadi bagian persoalan kolektif masyarakat pembacanya.
Contohnya Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Kondisi kolonialisme dan serangkaian akibatnya yang harus ditanggung masyarakat pribumi telah mendorong novel ini terus-menerus mendapatkan pembacanya dalam lintasan generasi. Isu kolonialis yang rupanya tak pernah padam dan terdorongnya sikap-sikap nasionalisme sebagai cara untuk menemukan kehidupan yang damai dan sejahtera membuat pembaca sulit melupakan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Sementara itu, saat ini sulit sekali menemukan novelis sekelas Pramoedya pada generasi-generasi sesudahnya untuk tema yang sama.
Formulasi semacam ini rupanya berlaku juga kepada novel-novel yang mengangkat sejarah nusantara ketika sistem politiknya berupa kerajaan. Karya-karya ini memadati rak-rak toko buku, kulit buku bernuansa klasik bermunculan, penerbit-penerbit gencar mencari novel-novel sejenis. Serapan yang besar untuk beberapa judul semacam Senopati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto, Sabdo Palon karya Damar Shashangka, pancalogi Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi, Nagabumi karya Seno Gumira Ajidarma, dan Singgasana Terakhir Pajajaran karya Tatang Sumarsono. 
Novel-novel yang banyak pembacanya ini tidak menggunakan strategi pemasaran untuk meraih pembacanya sebagaimana pada umumnya dilakukan. Tidak ada resensi maupun ulasan yang muncul di berbagai media saat novel ini muncul. Boleh dikata untuk industri buku, novel ini tidak lain “kebetulan” belaka sehingga menjangkau pembacanya yang luas. 
Namun bila dicermati dari sudut bahan yang diceritakan akan terkuak kebetulan itu bukanlah kebetulan. Ingatan kolektif yang menjadi bagian bawah sadar masyarakat pembaca yang menentukan novel tersebut mendapatkan pembacanya. 
Senopati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto adalah contoh yang baik. Novel ini menempatkan kaum pesilat sebagai bagian dalam pergeseran kekuasaaan Kerajaan Singasari yang runtuh ke Kerajaan Majapahit. Pendekar silat seperti Upasara Wulung yang menguasai jurus bertepuk sebelah tangan adalah tokoh yang berperan dalam pertarungan mengalahkan para pendekar Kubilai Khan dari Mongol ketika dipecundangi di sekitar Tarik. Saat itu para prajurit telah berhasil membabat prajurit Jayakatwang yang diduganya prajurit Kerajaan Singasari yang sebetulnya telah runtuh lebih dulu.
Tidak ada Upasara Wulung dan tidak ada jurus bertepuk sebelah tangan itu berdasarkan data sejarah. Juga tidak ada para pendekar yang mampu merongrong kekuasaan Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit. Novel ini bertaburan pendekar silat yang menjadi bagian pendukung Singasari, Majapahit, Kediri, dan Kubilai Khan. Para pendekar silat, dalam novel ini, berperan dalam naik-turunnya kerajaan tersebut.
Namun, dalam sebuah karya fiksi tidak perlu klarifikasi apakah sebuah novel memperlihatkan kepada pembacanya sebagai kebohongan ataukah kenyataan. Pembaca hanya dahaga akan sebuah cerita yang menarik dan berpetualang ke masa lampau yang secara fisik tidak dialami ini. Apalagi dalam novel ini permainan para pendekar tidak berlaga saja dalam setiap 50 tahun untuk menemukan pesilat sejati, tetapi mereka terlibat intrik kekuasaan di lingkaran istana Singasari dan Majapahit. Bahkan, asyiknya, si Upasara Wulung dalam novel ini terjebak dalam asmara yang melibatkan Permaisuri Rajapatmi dan Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Dalam hal ini, novel Senopati Pamungkas yang tebal sekali untuk novel berbahasa Indonesia mampu menjadi pemuas dahaga pembaca. 
Hanya perlu dicatat perbedaannya dengan novel fantasi yang bahan ceritanya tidak bisa dirujuk dalam sejarah, novel ini masih bisa dirujuk dalam sejarah. Senopati Pamungkas tetap menggunakan alur sejarah utama, yaitu Singasari jatuh setelah prajuritnya dikerahkan untuk mengamankan Selat Malaka dari prajurit Tartar dan pada saat itu Jayakatwang dari Kediri menyerang Kerajaan Singasari sampai menimbulkan kematian rajanya, Kertanegara. Setelah itu, Raden Wijaya diberi tanah perdikan di daerah Tarik. Dari sana prajurit Tartar yang hendak membalas dendam ditipu dan ditumpas oleh pasukan Raden Wijaya.
Artinya, kerangka kesadaran sejarah dipertahankan oleh pengarang, sementara kisahnya dipenuhi oleh para pesilat. Kepedulian konflik dan intrik politik yang mengaduk di lingkaran istana yang memukau dalam novel ini mengikatkan pada pembaca kepada sejarah yang bergolak di wilayah Jawa Timur. 
Sementara itu, novel Nagabumi1 dengan cara nyaris sama dengan alur tidak serumit Senopati Pamungkas mengangkat Mataram kuno pada saat Candi Borobudur dibangun dan kaitannya dengan Kerajaan Sriwijaya. Hanya saja, dalam novel Nagabumi 1 perspektif kekuasaan demikian menonjol sekaligus gamblang melalui kisah tulisan Pendekar Tanpa Nama, sekalipun tidak ada keinginan sebiji padi pun pada diri tokoh utama untuk berada atau dekat dengan lingkaran para rakai di istana Mataram Kuno. Ikatan sejarah itulah yang menjadi daya tarik utama akan novel Gajah Mada, Sabdo Palon dan Singgasana Terakhir Pajajaran serta karya novel-novel sejenis.
Ketika sebuah novel, apa pun jenisnya, telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat luas ia bisa disebut sebagai benda budaya. Novel itu tidak behenti sebagai bacaan ringan melainkan suatu dialektika antara apa yang dibaca dan pengalaman yang mengendap di dalam diri pembaca. Pembaca dengan serangkaian ingatan kolektifnya menemukan realitas yang terbayangkan bagaimana sebenarnya dirinya berada dalam deretan sejarah yang tak berhingga. Artinya, individu di alam pikiran modern yang bagai debu tak beridentitas kecuali sejauh mana banyaknya materi dan posisi sosial, mendapatkan landasan genealogisnya untuk mengetahui posisinya di jagat waktu tak bertepi. Novel-novel ini memberi fase sebagai sarana berefleksi keberadaannya kepada pembaca pendukungnya.
Di sini pembaca menentukan sekali keberadaan novel-novel tersebut. Pembaca tidak harus seturut dengan pendidikan sejarah yang dilesakkan oleh negara bagaimana mencerna dan mengetahui paparan sejarahnya. Mereka dengan suka hati memilih mana novel sejarah yang sesuai dengan latar belakang riwayat asal-usul sejarahnya dan mana yang bertolak belakang. Pembaca yang berasal dari latar belakang Aceh barangkali akan suka hati memilih novel Burung Rantau Pulang ke Sarang karya  berasal dari dataran Sulawesi akan membaca novel La galigo karya Abdul Rahman, dan untuk pembaca di dataran Sumatera akan memilih Bumi Sriwijaya karya Bagus Dilla. Sementara pembaca dari tlatah Sunda suka membaca Gajah Mada Musuhku karya Hermawan Aksan untuk pembaca di kalangan Sunda, dan seterusnya. Atau, bisa juga, pembacara menentukan novel sejarah bacaannya bersandar pada keingintahuan pada ranah sejarah atau budaya lokal lain yang berbeda.
Dengan demikian, menguatnya novel-novel berlatar sejarah yang ada di nusantara ini sudah seyogyanya mendapat perhatian yang mencukupi dalam bentuk apresiasi publik yang memadai. Memadai dalam arti sebuah tindakan kritis berupa penyelaman pada tataran literer maupun pendalaman materi sejarahnya. Tataran literer akan terkuak sejauh mana kemampuan bercerita telah berkembang dalam penulisan novel sejarah nusantara ini. Sementara pada tataran materi masuk pada wilayah sejauh mana penggalian sejarah telah dilakukan para penulis novel. Kemudian materi yang digali tersebut terpapar dalam narasi novel sehingga menunjukkan kemampuan seorang penulis novel dalam menafsirkan materi sejarah tersebut.

12/11/13

Modus Keberadaan Karya Sastra


Apakah puisi yang ‘sebenarnya’ itu?

Selama ini, ada banyak jawaban atas pertanyaan di atas.

Jawaban 1

Puisi merupakan sebuah ‘artefak’, sebuah objek yang sama dengan lukisan atau patung. Karya sastra bisa disamakan dengan garis-garis hitam pada kertas putih, atau naskah kuno, atau seperti puisi di Babilonia—tulisan yang ditatah pada batu bata.

Namun, banyak puisi dan cerita yang tidak pernah dituliskan, dan karya itu tetap bertahan hingga sekarang. Ini artinya, tulisan hanyalah cara menyalin sastra. Sebab, pemusnahan cetakan buku sastra bisa tidak menyentuh karya sastra sama sekali, dan berbeda dengan penghancuran lukisan atau patung dan bangunan.
Jika anggapan mengenai puisi adalah sebuah artefak ini diberi tanggapan serius, maka disimpulkan bahwa setiap buku—atau paling tidak edisi cetakan yang berbeda—adalah karya yang berbeda. Karena, sering ditemukan kesalahan cetak pada teks yang kemudian tak jarang teks tersebut diperbaiki untuk memulihkan makna aslinya. Dengan demikian, dapat dibuktikan bahwa puisi dapat hidup di luar cetakan, dan banyak unsur dari artefak barang cetakan tidak termasuk unsur puisi.

Tidak dapat disangkal bahwa banyak karya sastra yang lenyap dan musnah karena tulisannya hilang. Sarana trafisi oral yang secara teoretis bisa dipakau untuk menyelamatkannya, ternyata gagal berfungsi atau terputus. Tulisan—terutama cetakan—telah memungkinkan kesinambungan sejarah sastra, serta banyak meningkatkan keutuhan dan kesatuan karya sastra.

Dalam periode-periode tertentu dalam sejarah puisi, lukisan grafis telah menjadi bagian dari puisi. Ideogram yang berbentuk gambar pada puisi Cina, merupakan bagian dari makna puisi. Pada tradisi Barat juga ada puisi grafis dan puisi-puisi metafisik yang bisa disamakan dengan gongorisme di Spanyol, marinisme di Italia, dan puisi Barok di Jerman. Teknik-teknik ini merupakan bagian integral dari karya sastra. Meskipun sebagian besar karya sastra tidak memakainya, teknik grafis tidak dapat diabaikan.

Selain itu, fungsi cetakan pada puisi tidak terbatas pada hal-hal yang luar biasa seperti contoh-contoh di atas, tapi juga faktor integral dalam karya sastra. Percetakan telah merupakan bagian penting dari penciptaan puisi modern, karena pusii juga dibuat untuk dilihat, bukan hanya untuk didengar.

Jawaban 2

Puisi dianggap sebagai urutan bunyi yang diucapkan oleh pembaca karya sastra, sebagai inti dari karya sastra.

Namun, setiap pembacaan puisi adalah penyajian puisi, dan bukan puisi itu sendiri. Kita melihat tulisan sebagai suatu kesatuan, dan tidak memotong-motongnya menjadi fonem. Asumsi bahwa puisi ada dalam pembacaan puisi, menghasilkan kesimpulang yang aneh: puisi tidak ada kalau tidak dibacakan, dan puisi selalu diciptakan kembali pada setiap pembacaan.

Pembacaan puisi tidak hanya menambahkan beberapa unsur luar, tetapi menunjukkan seleksi komponen yang tersirat dari teks, dan ini membuat setiap pembacaan puisi selalu muncul unsur-unsur yang melebihi puisi itu sendiri. Ini berarti puisi dapat berada di luar penyajian lisannya, dan penyajian lisan itu mengandung unsur-unsur yang tidak termasuk unsur puisi.

Jawaban 3

Puisi adalah pengalaman pembacanya. Sebuah puisi tak lebih dari proses mental masing-masing pembaca; jadi, sama dengan keadaan mental atau proses yang kita rasakan ketika membaca atau mendengarkan puisi.
Namun jawaban ini mendapatkan banyak penyangkalan. Pengalaman itu tidak dapat disamakan dengan puisi itu sendiri, sebab itu artinya pembaca yang kurang atau tidak berpengalaman tentu lebih banyak membuat distorsi dan lebih dangkal pemahamannya.

Pandangan bahwa pengalaman mental pembaca adalah puisi itu sendiri, mengarah pada kesimpulan puisi itu tidak ada kecuali kalau dialami dan diciptakan kembali dalam setiap pengalaman pembaca. Kalau ini ditanggapi secara serius, tidak mungkin menjelaskan mengapa pengalaman pembaca puisi yang satu lebih baik dari pembaca lainnya, dan mengapa kita dapat mengoreksi pengalaman pembaca lain.

Biarpun menarik dan bermanfaat untuk pendidikan, psikologi pembaca akan selalu berada di luar objek studi sastra—yakni karya sastra yang nyata—, dan tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang struktur dan nilai karya sastra. Teori-teori psikologis adalah teori dampak dan bisa mengarah pada hal-hal yang ekstrem seperti kriteria nilai yang diusulkan oleh A.E. Housman yang menyatakan bahwa puisi yang baik dapat dirasakan dari getaran pada syaraf tulang punggung kita.

Teori-teori psikologis cenderung menghasilkan anarki, skeptisisme, dan kerancuan nilai karena tidak berkaitan dengan struktur atau kualitas puisi. Makna penuh puisi tak akan pernah didapatkan dan pasti ada unsur-unsur pribadi yang ditambahkan pada waktu membaca.

Jawaban 4

Puisi adalah pengalaman penyair (kita dapat menolak pandangan bahwa puisi adalah pengalaman penyair pada waktu tertentu sesudah ia menciptakan karya sastra, yaitu pada saat ia membaca ulang puisinya.
Mungkin yang dimaksud pengalaman pengarang di sini adalah pengalamannya ketika mencipta. Istilah ini bisa berarti dua hal. Pengalaman yang sadar, maksud pengarang yang ingin diwujudkan dalam karyanya, atau pengalaman yang sadar dan tidak sadar selama waktu penciptaan yang diperpanjang.

Karena, maksud pengarang bisa melebihi karyanya. Seniman sering dipengaruhi oleh selera dan formula kritik pada zamannya, ketika ia menyatakan maksudnya, tetapi formula itu mungkin tidak memadai untuk mencirikan keberhasilan artistik seniman. Perbedaan antara maksud sadar dan perwujudan karya sastra adalah fenomena umum dalam sejarah sastra.

Maksud pengarang bukan merupakan komentar yang akurat tentang karyanya, atau tak lebih dari sebuah komentar. Kalau yang dimaksud adalah bagian-bagian integral dari karya sastra yang membantu kita dalam mendapatkan makna yang menyeluruh.

Teori ini mempunyai kekurangan karena meletakkan masalah pada suatu faktor x yang masih merupakan hipotesis dan sulit diukur. Pengalaman pengarang selama mencipta berhenti begitu puisi itu selesai diciptakan. Kita hanya membuat asumsi bahwa pengalaman kita membaca puisi sama dengan pengalaman penyairnya. Kita cenderung melakukan spekulasi yang tak jelas arahnya tentang isi pikiran itu dan lamanya pikiran itu berlangsung pada saat penciptaan.

Cara yang lebih baik adalah membuat batasan karya sastra yang berkaitan dengan pengalaman sosial dan kolektif. Ada dua kemungkinan pemecahan: 1. Kita bisa mengatakan bahwa karya sastra adalah jumlah keseluruhan pengalaman masa lampau dan pengalaman yang mungkin terjadi. 2. Puisi yang ‘sebenarnya’ ada dalam penalaman yang sama dengan semua pengalaman pembaca puisi.

Puisi bukanlah pengalaman perorangan maupun gabungan pengalaman. Puisi hanya merupakan suatu penyebab potensial dari pengalaman. Puisi yang ‘sebenarnya’ harus dilihat sebagai struktur norma yang diwujudkan sebagian melalui pengalaman pembaca. Norma yang dimaksud di sini adalah norma yang tersirat yang harus dikeluarkan dari setiap pengalaman membaca karya sastra, dan yang secara keseluruhan membentuk karya sastra. Dari kesamaan yang didapan ketika membandingkan beberapa karya sastra, kita menyusun klasifikasi norma yang diwujudkannya. Di sini kita sampai pada teori genre dan teori sastra pada umumnya.

Kalau kita menganalisi karya sastra lebih teliti, kita akan menyimpulkan bahwa lebih baik kita melihat karya sastra bukan saja sebagai suatu sistem norma, melainkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari beberapa strata—tiap strata mempunyai kelompok yang lebih kecil.

Karya sastra sama kedudukannya dengan sistem bahasa. Sistem bahasa merupakan kumpulan konversi dan norma yag cara bekerja dan hubungannya dapa diamati dan dilihat sebagai sesuatu yang koheren, walaupun ujaran tiap orang berbeda, tidak sempurna, dan tidak lengkap.

Struktur karya sastra menawarkan ‘kewajiban untuk dipahami’. Mungkin pemahaman kita tidak sempurna, tetapi ‘struktur penentu’ itu ada pada karya sastra dan dapat kita cari, seperti halnya setiap objek pengetahuan yang lain.

Analisis karya sastra menghadali masalah-masalah, yakni cara memecahkan unit makna dan susunan tertentu yang berfungsi estetis. Untuk memecahkan masalah ini dengan bak, kita harus menyelesaikan kontroversi antara nominalisme dan realisme, mentalisme, dan aliran behaviourisme. Itu artinya kita harus menyelesaikan masalah epistemologi.

Kritikus tidak harus berperan sebagai manusia super yang dapat mengkritik pemahaman orang dari luar atau mengaku menangkap seluruh sistem norma dalam suatu tidnak intuisi intelektual. Yang harus dilakukan adalah mengkritik sebagian dari pengetahuan kita dari sudut pandang standar yang lebih tinggi yang ditetapkan oleh pihak lain. Kita meletakkan diri sebagai orang yang membandingkan objek yang dilihat secara jelas dan objek yang kurang jelas, lalu membuat generalisasi tentang dua macam objek yang digolongkan dalam dua kelas, dan menjelaskan perbedaannya melalui teori penglihatan yang memperhitungkan jarak, cahaya, dan seterusnya.

Dengan memakai analogi ini, kita membedakan pemahaman puisi yang salah dan yang benar, antara pengakuan norma dan distrosi norma yang tersirat dari karya sastra. Karya sastra bukan kenyataan empiris dalam arti: ada dalam pikiran orang tertentu atau kelompok orang tertentu. Karya sastra juga bukan objek ideal yang tidak dapat berubah. Karya sastra dapat menjadi objek pengalaman, tetapi tidak sama dengan pengalaman.

Karya sastra mempunya ‘kehidupan’. Ia lahir pada suatu waktu tertentu, mengalami perubahan dan dapat musnah. Meskipun begitu, karya sastra juga bersifat historis karena perkembangannya dapat diuraikan.

Referensi:

Wellek, Rene, Austin Warren. 1949. Theory of Literature. California: Harcourt, Brace, & Company.