Dengan penuh cinta kuperkenalkan kalian kepada kawan-kawanku ini. Kawan-kawan yang disebut keluarga juga bukan, tapi disebut kawan sahaja rasa-rasanya pun terasa janggal. Baik kukatakan saja sebuah perkumpulan manusia-manusia yang senantiasa bersama-sama merasa si bulan kembar ini hanyalah mimpi bagi kami.
Inilah kawanku yang pertama, ketua tim subunit Pejaten. Ialah yang kukenalkan pertama karena ialah pemimpin daripada kami, meski wibawa pemimpinnya nampaknya tak terlalu terasa karena sering ditegur untuk melakukan agenda apapunlah itu. Tapi ialah pemimpin yang baik, meski bukan yang terbaik. Nama ia Faqih Abdussalam, belajar ia di Fisika, MIPA. Menurut kesaksian seorang dua yang kenal ia di dunia nyata--ya, kita sebut saja hidup di bulan kembar itu sebagai dunia mimpi--ialah pemuda pendiam yang jarang turut berkegiatan di kampusnya, kata seorang dua itu. Tapi, benarkah yang pendiam itu adalah orang ini? Orang yang terkadang melawak pun perlu dipikir ulang lagi oleh para pendengarnya, yang suka cengar-cengir tak keruan, yang mukanya selalu nampak baru bangun tidur, yang selalu berbisik membatin sendiri, dan yang pernah ditanggungjawabi oleh kawan-kawan lelakinya untuk menunaikan hukuman yang pernah kami--para perempuan--tujukan untuk para kawan lelaki kami atas keluhan mereka pada masakan kami.
Membikinku tertawa sendiri jika mengingat memori di bulan-bulan penuh mimpi itu.
Yang kedua ialah adik manisku yang begitu manis perilaku juga tuturnya, Nashrully. Ialah pemalu kedua setelah aku. Hahaha, janganlah engkau sekalian tertawa mengetahui aku ini pemalu. Sungguhlah benar adanya itu, aku sukanya malu. Memberi malu, maksudnya.
Baiklah kembali kepada adik manisku ini, yang sholehah betul ia, lembut tutur katanya, meski terkadang ada kami memiliki pandangan yang berbeda atas satu dan beberapa hal, tapi ah biarlah. Perbedaan itu mendekatkan kami. Pernah aku menangis dibuat olehnya, ialah orang yang kuceritai jujur mengenai aku. Gadis manis calon apoteker dan berkuliah di farmasi ini senang kubuat bingung sendiri dan senang pula aku melihat muka bingung nun heran ia. Ada ia mencurigaiku sesuatu, pun nampaknya aku pun ada menduga-duga akan sesuatu tentang ia. Aku penasaran pada dirinya, seperti dirinya ini diselubungi oleh entah apa selain kain-kain gulita yang menjadi warnanya saban hari. Ah adik manisku ini. Semoga selubung itu tak membebani engkau.
Aku telah rindu kepada engkau, bagaimana dengan dirimu?
Selanjutnya ialah Olga Priandana Yudi yang namanya mau tak mau kuhapal meski disusun oleh susunan vokal yang jauh lokasi penyebutannya. Aku sebal pada kebiasaanku sendiri untuk menghapal nama-nama panjang orang-orang, tapi aku selalu suka untuk tahu nama panjang mereka. Orang ini, Olga ini ialah orang Padang asli yang jauh ia merantau ke Jogja dengan membawa motornya yang kubenci seumur hidupku. Hentikan, wahai otakku, jangan membawa kembali memori itu.
Pemuda ini berkuliah di Teknik Mesin yang sejak awal selalu mempertanyakan, "Program apa yang harus kukerjakan?" dan selalu membuatku tertawa mengingatnya. Ah, saat inipun aku tertawa. Maafkan kelancanganku ini, Olga.
Yang akan selalu kuingat betul tentang anak ini ialah percakapan singkat kami di telepon ketika kutanya ia, "Ga, sedang dimana kau?" dan tahukah apa jawabnya? Ialah menjawab, "Mmmmm, otw."
Sungguh tak pandai betul ia berbohong kala itu dan aku langsung tahu sajalah bahwa ia berdusta. Tertawa lagi aku mengingatnya. Ah, Olga, Olga. Yang selalu punya banyak kawan untuk berbalas kata melalui telepon. Yang selalu tahan telinganya menempel pada besi tipis panas saban malam yang dingin. Yang selalu digoda dan ditanya dengan siapa lagikah ia bersambut ujar kini?
Jika kita telah pulang ke tanah masing-masing, sepertinya aku akan tetap mengingat kekonyolanmu.

Tapi satu hal yang paling kusebalkan dari ia. Ialah yang wisuda lebih dulu daripada aku, siapa yang tak kesal dibuatnya? Siapa yang tak kesal pada gadis perawat ini?
Ah, biarlah aku berkesal-kesal dalam imaji dengan penuh cintaku sendiri di sini.
Siapa setelahnya? Ah tentulah kawan Sulawesiku yang satu ini. Kikoy namanya, Rezky Amaliah aslinya. Entah mendapat tambahan dari mana 'koy' di belakang namanya itu. Aku pun penasaran dibuatnya. Tapi ialah si cantik bersuara keras berangkatan tua pula sepertiku. Ia berkeinginan tak hendak jadi pengacara, meski nampaknya pengacara akan mendapatkan imbalan setimpal nampaknya bagi lulusan mahasiswa Hukum seperti ia. Ia orang yang keras, seperti kebanyakan kawan-kawan Sulawesiku yang lain. Bagi sebagian yang tak terbiasa mungkin ketakutan, tapi aku tidak. Itulah penanda orang laut, yang suaranya berpacu dengan ombak di lautan. Ah, aku suka jika harus menghubung-hubungkannya dengan legenda dan masa lalu.
Karena yang membuat aku dan kau ada serta saling menemu adalah nenek moyang kita, bukan?
Seperti anak kecil yang memberikan makanan yang tak ia suka kepada ibunya. Lucu sekali. Dan mau tak mau aku menenggak habis minumnya jua saban begitu.
Semoga perubahanmu membawamu menuju kebaikan lebih baik lagi, Nadia. Aku selalu mendoakanmu.
Dengan doalah aku mengingini engkau baik-baik saja ketika jauh dariku.
Aku benci menulis ini, tapi dia adalah kawanku. Deni Apriandi, alien fisika lain yang keberadaannya selama dua bulan selalu kusengiti dan jika penyemprot serangga bisa mengusirnya, sudah habis berkaleng-kaleng aku membuang-buang benda itu ke arahnya. Entah apa yang membuatku sebal kepadanya. Mungkin karena ia telah mengambil kawanku? Kurasa benar begitu.
Tapi Deni adalah kawan baikku. Kawan lelaki pertama di tim ini yang kubercandai dan kuajak bertukar ujar meski aku lupa, benarkah ia kawan lelaki pertama di tim ini yang kuajak berbincang? Jika aku salah, aku akan dengan senang hati meralat kalimat sebelumnya. Jika tidak... ah, ya sudahlah.
Semua salah pada ucap dan lakuku padamu, semoga engkau maafkan. Karena sungguh aku tak berniat meninggalkan kesan buruk kepadamu.
Kawan terakhirku pun kawan misteriusku karena--jujur saja--kehadirannya benar-benar dapat kuhitung dengan jari di depan mataku sendiri. Ia yang tak pernah terlihat batang hidungnya, yang selalu tipis keberadaannya. Tidak, bahkan tidak ada sama sekali. Ia meninggalkan kesan pertama yang jelek kepadaku dan karena itulah--dan sejak itulah--aku selalu memberikan reaksi jauh lebih negatif kepadanya jika dibandingkan kepada Deni. Tapi sungguh aku tak bermaksud begitu. Entah sinyal yang seperti apa yang dikirimkan hatiku kepada otakku sehingga membuatnya memerintahkan seluruh indraku untuk berbuat jahat kepadanya.
Tapi sungguh-sungguh aku sama sekali tidak berniat begitu. Aku benar-benar memohon maaf jika engkau benar-benar pernah terluka karena aku.
Tak banyak yang kutahu dengannya, meski seringkali ia bercerita mengenai keluarga dan ia lebih banyak. Selalu ada yang mengganjal di benakku dan kemudian membuatku lupa pada seluruh ceritanya.
Sekali lagi kuminta maafmu kepadaku. Aku tak ingin dibenci oleh engkau, pun aku tak ingin membenci seorang pun jua. Lebih mudah berkasih-kasihan daripada saling menebar duga dan khayal buruk.Itulah rasa cintaku kepada yang kusayang di atas sana. Terlampau basi dan busuk, biarlah. Aku beruntung telah mengenal engkau berdelapan ini. Mengalami berbagai pengalaman dan mengetahui berbagai pengetahuan demi kebaikanku, kebaikan engkau, kebaikan orang lain selain engkau dan aku. Syukurlah Tuhan mempertemukan kita, sehingga kita bisa saling menatap mata satu sama lain. Bertukar sapa, salam, dan ujar selama dua bulan kembar berlalu. Berbagi tawa, duka, dan suka. Mengarung kesal, amarah, sabar dengan bijak menuju kedewasaan yang lebih baru lagi. Aku mencintai engkau semuanya.
Jangan lupakan aku, karena pun aku selalu akan mengingat engkau.
Aku mencintai engkau, bagaimana dengan engkau?
Prilly Upartini
7-8 Agustus 2017
Di malam yang tak sedingin selimut kelam Pejaten
0 komentar:
Posting Komentar