Ide tak pernah habis-habis di kepala para penulis, jika melihat dari semakin beragamnya novel-novel yang sering dijumpai di rak-rak di toko buku. Dengan pilihan tema beragam, pembaca yang haus akan bacaan dimanjakan dengan tulisan. Entah itu novel luar negeri seperti Harry Potter, Narnia, The Lord Of The Ring, dan lain-lain, maupun novel dari dalam negeri.
Namun tentu saja
karena semakin banyaknya persaingan di pasaran menyangkut kepopuleran novel,
para penulis pun berlomba-lomba mencari tema seunik dan semenarik mungkin agar
novel mereka tidak tenggelam di tengah semakin banyaknya novel-novel baru yang
diterbitkan.
Yang menjadi faktor
apakah novel itu akan terus berada di permukaan atau akan tenggelam, tentu saja
adalah pembaca. Apabila pembaca dan novel tidak memiliki kesesuaian, maka
tenggelamlah novel tersebut. Penulis harus mampu memberi ikatan yang kuat
antara novel dengan pembaca, dan ini menjadi bagian persoalan kolektif
masyarakat pembacanya.
Contohnya Tetralogi Pulau Buru karya
Pramoedya Ananta Toer. Kondisi kolonialisme dan serangkaian akibatnya yang
harus ditanggung masyarakat pribumi telah mendorong novel ini terus-menerus
mendapatkan pembacanya dalam lintasan generasi. Isu kolonialis yang rupanya tak
pernah padam dan terdorongnya sikap-sikap nasionalisme sebagai cara untuk
menemukan kehidupan yang damai dan sejahtera membuat pembaca sulit melupakan
karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Sementara itu, saat ini sulit sekali
menemukan novelis sekelas Pramoedya pada generasi-generasi sesudahnya untuk
tema yang sama.
Formulasi semacam ini rupanya berlaku
juga kepada novel-novel yang mengangkat sejarah nusantara ketika sistem
politiknya berupa kerajaan. Karya-karya ini memadati rak-rak toko buku, kulit
buku bernuansa klasik bermunculan, penerbit-penerbit gencar mencari novel-novel
sejenis. Serapan yang besar untuk beberapa judul semacam Senopati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto, Sabdo Palon karya Damar Shashangka, pancalogi Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi, Nagabumi karya Seno Gumira Ajidarma, dan Singgasana Terakhir Pajajaran karya Tatang Sumarsono.
Novel-novel yang banyak pembacanya
ini tidak menggunakan strategi pemasaran untuk meraih pembacanya sebagaimana
pada umumnya dilakukan. Tidak ada resensi maupun ulasan yang muncul di berbagai
media saat novel ini muncul. Boleh dikata untuk industri buku, novel ini tidak
lain “kebetulan” belaka sehingga menjangkau pembacanya yang luas.
Namun bila dicermati dari sudut bahan
yang diceritakan akan terkuak kebetulan itu bukanlah kebetulan. Ingatan
kolektif yang menjadi bagian bawah sadar masyarakat pembaca yang menentukan
novel tersebut mendapatkan pembacanya.
Senopati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto adalah
contoh yang baik. Novel ini menempatkan kaum pesilat sebagai bagian dalam
pergeseran kekuasaaan Kerajaan Singasari yang runtuh ke Kerajaan Majapahit.
Pendekar silat seperti Upasara Wulung yang menguasai jurus bertepuk sebelah
tangan adalah tokoh yang berperan dalam pertarungan mengalahkan para pendekar
Kubilai Khan dari Mongol ketika dipecundangi di sekitar Tarik. Saat itu para
prajurit telah berhasil membabat prajurit Jayakatwang yang diduganya prajurit
Kerajaan Singasari yang sebetulnya telah runtuh lebih dulu.
Tidak ada Upasara Wulung dan tidak
ada jurus bertepuk sebelah tangan itu berdasarkan data sejarah. Juga tidak ada
para pendekar yang mampu merongrong kekuasaan Kerajaan Singasari dan Kerajaan
Majapahit. Novel ini bertaburan pendekar silat yang menjadi bagian pendukung
Singasari, Majapahit, Kediri, dan Kubilai Khan. Para pendekar silat, dalam
novel ini, berperan dalam naik-turunnya kerajaan tersebut.
Namun, dalam sebuah
karya fiksi tidak perlu klarifikasi apakah sebuah novel memperlihatkan kepada
pembacanya sebagai kebohongan ataukah kenyataan. Pembaca hanya
dahaga akan sebuah cerita yang menarik dan berpetualang ke masa lampau yang
secara fisik tidak dialami ini. Apalagi dalam novel ini permainan para pendekar
tidak berlaga saja dalam setiap 50 tahun untuk menemukan pesilat sejati, tetapi
mereka terlibat intrik kekuasaan di lingkaran istana Singasari dan Majapahit.
Bahkan, asyiknya, si Upasara Wulung dalam novel ini terjebak dalam asmara yang
melibatkan Permaisuri Rajapatmi dan Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Dalam hal
ini, novel Senopati Pamungkas yang
tebal sekali untuk novel berbahasa Indonesia mampu menjadi pemuas dahaga
pembaca.
Hanya perlu dicatat perbedaannya
dengan novel fantasi yang bahan ceritanya tidak bisa dirujuk dalam sejarah,
novel ini masih bisa dirujuk dalam sejarah. Senopati
Pamungkas tetap menggunakan alur sejarah utama, yaitu Singasari jatuh
setelah prajuritnya dikerahkan untuk mengamankan Selat Malaka dari prajurit
Tartar dan pada saat itu Jayakatwang dari Kediri menyerang Kerajaan Singasari
sampai menimbulkan kematian rajanya, Kertanegara. Setelah itu, Raden Wijaya
diberi tanah perdikan di daerah
Tarik. Dari sana prajurit Tartar yang hendak membalas dendam ditipu dan
ditumpas oleh pasukan Raden Wijaya.
Artinya, kerangka kesadaran sejarah
dipertahankan oleh pengarang, sementara kisahnya dipenuhi oleh para pesilat.
Kepedulian konflik dan intrik politik yang mengaduk di lingkaran istana yang
memukau dalam novel ini mengikatkan pada pembaca kepada sejarah yang bergolak
di wilayah Jawa Timur.
Sementara itu, novel Nagabumi1 dengan cara nyaris sama dengan
alur tidak serumit Senopati Pamungkas
mengangkat Mataram kuno pada saat Candi Borobudur dibangun dan kaitannya dengan
Kerajaan Sriwijaya. Hanya saja, dalam novel Nagabumi 1 perspektif kekuasaan demikian
menonjol sekaligus gamblang melalui kisah tulisan Pendekar Tanpa Nama,
sekalipun tidak ada keinginan sebiji padi pun pada diri tokoh utama untuk
berada atau dekat dengan lingkaran para rakai di istana Mataram Kuno. Ikatan
sejarah itulah yang menjadi daya tarik utama akan novel Gajah Mada, Sabdo Palon
dan Singgasana Terakhir Pajajaran
serta karya novel-novel sejenis.
Ketika sebuah novel, apa pun
jenisnya, telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat luas ia bisa disebut
sebagai benda budaya. Novel itu tidak behenti sebagai bacaan ringan melainkan
suatu dialektika antara apa yang dibaca dan pengalaman yang mengendap di dalam
diri pembaca. Pembaca dengan serangkaian ingatan kolektifnya menemukan realitas
yang terbayangkan bagaimana sebenarnya dirinya berada dalam deretan sejarah
yang tak berhingga. Artinya, individu di alam pikiran modern yang bagai debu
tak beridentitas kecuali sejauh mana banyaknya materi dan posisi sosial,
mendapatkan landasan genealogisnya untuk mengetahui posisinya di jagat waktu
tak bertepi. Novel-novel ini memberi fase sebagai sarana berefleksi
keberadaannya kepada pembaca pendukungnya.
Di sini pembaca menentukan sekali
keberadaan novel-novel tersebut. Pembaca tidak harus seturut dengan pendidikan
sejarah yang dilesakkan oleh negara bagaimana mencerna dan mengetahui paparan
sejarahnya. Mereka dengan suka hati memilih mana novel sejarah yang sesuai
dengan latar belakang riwayat asal-usul sejarahnya dan mana yang bertolak
belakang. Pembaca yang berasal dari latar belakang Aceh barangkali akan suka
hati memilih novel Burung Rantau Pulang
ke Sarang karya berasal dari dataran
Sulawesi akan membaca novel La galigo
karya Abdul Rahman, dan untuk pembaca di dataran Sumatera akan memilih Bumi Sriwijaya karya Bagus Dilla.
Sementara pembaca dari tlatah Sunda suka membaca Gajah Mada Musuhku karya Hermawan Aksan untuk pembaca di kalangan
Sunda, dan seterusnya. Atau, bisa juga, pembacara menentukan novel sejarah
bacaannya bersandar pada keingintahuan pada ranah sejarah atau budaya lokal
lain yang berbeda.
Dengan demikian, menguatnya
novel-novel berlatar sejarah yang ada di nusantara ini sudah seyogyanya
mendapat perhatian yang mencukupi dalam bentuk apresiasi publik yang memadai.
Memadai dalam arti sebuah tindakan kritis berupa penyelaman pada tataran
literer maupun pendalaman materi sejarahnya. Tataran literer akan terkuak
sejauh mana kemampuan bercerita telah berkembang dalam penulisan novel sejarah
nusantara ini. Sementara pada tataran materi masuk pada wilayah sejauh mana
penggalian sejarah telah dilakukan para penulis novel. Kemudian materi yang
digali tersebut terpapar dalam narasi novel sehingga menunjukkan kemampuan seorang
penulis novel dalam menafsirkan materi sejarah tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar