Apakah puisi yang ‘sebenarnya’ itu?
Selama ini, ada banyak jawaban atas
pertanyaan di atas.
Jawaban 1
Puisi merupakan sebuah ‘artefak’, sebuah
objek yang sama dengan lukisan atau patung. Karya sastra bisa disamakan dengan garis-garis
hitam pada kertas putih, atau naskah kuno, atau seperti puisi di
Babilonia—tulisan yang ditatah pada batu bata.
Namun, banyak puisi dan cerita yang
tidak pernah dituliskan, dan karya itu tetap bertahan hingga sekarang. Ini
artinya, tulisan hanyalah cara menyalin sastra. Sebab, pemusnahan cetakan buku
sastra bisa tidak menyentuh karya sastra sama sekali, dan berbeda dengan
penghancuran lukisan atau patung dan bangunan.
Jika anggapan mengenai puisi adalah
sebuah artefak ini diberi tanggapan serius, maka disimpulkan bahwa setiap
buku—atau paling tidak edisi cetakan yang berbeda—adalah karya yang berbeda.
Karena, sering ditemukan kesalahan cetak pada teks yang kemudian tak jarang
teks tersebut diperbaiki untuk memulihkan makna aslinya. Dengan demikian, dapat
dibuktikan bahwa puisi dapat hidup di luar cetakan, dan banyak unsur dari
artefak barang cetakan tidak termasuk unsur puisi.
Tidak dapat disangkal bahwa banyak karya
sastra yang lenyap dan musnah karena tulisannya hilang. Sarana trafisi oral
yang secara teoretis bisa dipakau untuk menyelamatkannya, ternyata gagal
berfungsi atau terputus. Tulisan—terutama cetakan—telah memungkinkan
kesinambungan sejarah sastra, serta banyak meningkatkan keutuhan dan kesatuan
karya sastra.
Dalam periode-periode tertentu dalam
sejarah puisi, lukisan grafis telah menjadi bagian dari puisi. Ideogram yang
berbentuk gambar pada puisi Cina, merupakan bagian dari makna puisi. Pada
tradisi Barat juga ada puisi grafis dan puisi-puisi metafisik yang bisa
disamakan dengan gongorisme di Spanyol, marinisme di Italia, dan puisi Barok di
Jerman. Teknik-teknik ini merupakan bagian integral dari karya sastra. Meskipun
sebagian besar karya sastra tidak memakainya, teknik grafis tidak dapat
diabaikan.
Selain itu, fungsi cetakan pada puisi
tidak terbatas pada hal-hal yang luar biasa seperti contoh-contoh di atas, tapi
juga faktor integral dalam karya sastra. Percetakan telah merupakan bagian
penting dari penciptaan puisi modern, karena pusii juga dibuat untuk dilihat,
bukan hanya untuk didengar.
Jawaban 2
Puisi dianggap sebagai urutan bunyi yang
diucapkan oleh pembaca karya sastra, sebagai inti dari karya sastra.
Namun, setiap pembacaan puisi adalah
penyajian puisi, dan bukan puisi itu sendiri. Kita melihat tulisan sebagai
suatu kesatuan, dan tidak memotong-motongnya menjadi fonem. Asumsi bahwa puisi
ada dalam pembacaan puisi, menghasilkan kesimpulang yang aneh: puisi tidak ada
kalau tidak dibacakan, dan puisi selalu diciptakan kembali pada setiap
pembacaan.
Pembacaan puisi tidak hanya menambahkan
beberapa unsur luar, tetapi menunjukkan seleksi komponen yang tersirat dari
teks, dan ini membuat setiap pembacaan puisi selalu muncul unsur-unsur yang
melebihi puisi itu sendiri. Ini berarti puisi dapat berada di luar penyajian
lisannya, dan penyajian lisan itu mengandung unsur-unsur yang tidak termasuk
unsur puisi.
Jawaban 3
Puisi adalah pengalaman pembacanya.
Sebuah puisi tak lebih dari proses mental masing-masing pembaca; jadi, sama
dengan keadaan mental atau proses yang kita rasakan ketika membaca atau
mendengarkan puisi.
Namun jawaban ini mendapatkan banyak
penyangkalan. Pengalaman itu tidak dapat disamakan dengan puisi itu sendiri,
sebab itu artinya pembaca yang kurang atau tidak berpengalaman tentu lebih
banyak membuat distorsi dan lebih dangkal pemahamannya.
Pandangan bahwa pengalaman mental
pembaca adalah puisi itu sendiri, mengarah pada kesimpulan puisi itu tidak ada
kecuali kalau dialami dan diciptakan kembali dalam setiap pengalaman pembaca.
Kalau ini ditanggapi secara serius, tidak mungkin menjelaskan mengapa
pengalaman pembaca puisi yang satu lebih baik dari pembaca lainnya, dan mengapa
kita dapat mengoreksi pengalaman pembaca lain.
Biarpun menarik dan bermanfaat untuk
pendidikan, psikologi pembaca akan selalu berada di luar objek studi
sastra—yakni karya sastra yang nyata—, dan tidak mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang struktur dan nilai karya sastra. Teori-teori
psikologis adalah teori dampak dan bisa mengarah pada hal-hal yang ekstrem
seperti kriteria nilai yang diusulkan oleh A.E. Housman yang menyatakan bahwa
puisi yang baik dapat dirasakan dari getaran pada syaraf tulang punggung kita.
Teori-teori psikologis cenderung
menghasilkan anarki, skeptisisme, dan kerancuan nilai karena tidak berkaitan
dengan struktur atau kualitas puisi. Makna penuh puisi tak akan pernah
didapatkan dan pasti ada unsur-unsur pribadi yang ditambahkan pada waktu
membaca.
Jawaban 4
Puisi adalah pengalaman penyair (kita
dapat menolak pandangan bahwa puisi adalah pengalaman penyair pada waktu
tertentu sesudah ia menciptakan karya sastra, yaitu pada saat ia membaca ulang
puisinya.
Mungkin yang dimaksud pengalaman
pengarang di sini adalah pengalamannya ketika mencipta. Istilah ini bisa
berarti dua hal. Pengalaman yang sadar, maksud pengarang yang ingin diwujudkan
dalam karyanya, atau pengalaman yang sadar dan tidak sadar selama waktu
penciptaan yang diperpanjang.
Karena, maksud pengarang bisa melebihi
karyanya. Seniman sering dipengaruhi oleh selera dan formula kritik pada
zamannya, ketika ia menyatakan maksudnya, tetapi formula itu mungkin tidak
memadai untuk mencirikan keberhasilan artistik seniman. Perbedaan antara maksud
sadar dan perwujudan karya sastra adalah fenomena umum dalam sejarah sastra.
Maksud pengarang bukan merupakan
komentar yang akurat tentang karyanya, atau tak lebih dari sebuah komentar.
Kalau yang dimaksud adalah bagian-bagian integral dari karya sastra yang
membantu kita dalam mendapatkan makna yang menyeluruh.
Teori ini mempunyai kekurangan karena
meletakkan masalah pada suatu faktor x yang masih merupakan hipotesis dan sulit
diukur. Pengalaman pengarang selama mencipta berhenti begitu puisi itu selesai
diciptakan. Kita hanya membuat asumsi bahwa pengalaman kita membaca puisi sama
dengan pengalaman penyairnya. Kita cenderung melakukan spekulasi yang tak jelas
arahnya tentang isi pikiran itu dan lamanya pikiran itu berlangsung pada saat
penciptaan.
Cara yang lebih baik adalah membuat
batasan karya sastra yang berkaitan dengan pengalaman sosial dan kolektif. Ada
dua kemungkinan pemecahan: 1. Kita bisa mengatakan bahwa karya sastra adalah
jumlah keseluruhan pengalaman masa lampau dan pengalaman yang mungkin terjadi.
2. Puisi yang ‘sebenarnya’ ada dalam penalaman yang sama dengan semua
pengalaman pembaca puisi.
Puisi bukanlah pengalaman perorangan
maupun gabungan pengalaman. Puisi hanya merupakan suatu penyebab potensial dari
pengalaman. Puisi yang ‘sebenarnya’ harus dilihat sebagai struktur norma yang
diwujudkan sebagian melalui pengalaman pembaca. Norma yang dimaksud di sini
adalah norma yang tersirat yang harus dikeluarkan dari setiap pengalaman
membaca karya sastra, dan yang secara keseluruhan membentuk karya sastra. Dari
kesamaan yang didapan ketika membandingkan beberapa karya sastra, kita menyusun
klasifikasi norma yang diwujudkannya. Di sini kita sampai pada teori genre dan
teori sastra pada umumnya.
Kalau kita menganalisi karya sastra
lebih teliti, kita akan menyimpulkan bahwa lebih baik kita melihat karya sastra
bukan saja sebagai suatu sistem norma, melainkan sebagai suatu sistem yang
terdiri dari beberapa strata—tiap strata mempunyai kelompok yang lebih kecil.
Karya sastra sama kedudukannya dengan
sistem bahasa. Sistem bahasa merupakan kumpulan konversi dan norma yag cara
bekerja dan hubungannya dapa diamati dan dilihat sebagai sesuatu yang koheren,
walaupun ujaran tiap orang berbeda, tidak sempurna, dan tidak lengkap.
Struktur karya sastra menawarkan
‘kewajiban untuk dipahami’. Mungkin pemahaman kita tidak sempurna, tetapi
‘struktur penentu’ itu ada pada karya sastra dan dapat kita cari, seperti
halnya setiap objek pengetahuan yang lain.
Analisis karya sastra menghadali
masalah-masalah, yakni cara memecahkan unit makna dan susunan tertentu yang
berfungsi estetis. Untuk memecahkan masalah ini dengan bak, kita harus
menyelesaikan kontroversi antara nominalisme dan realisme, mentalisme, dan
aliran behaviourisme. Itu artinya
kita harus menyelesaikan masalah epistemologi.
Kritikus tidak harus berperan sebagai
manusia super yang dapat mengkritik pemahaman orang dari luar atau mengaku menangkap
seluruh sistem norma dalam suatu tidnak intuisi intelektual. Yang harus
dilakukan adalah mengkritik sebagian dari pengetahuan kita dari sudut pandang
standar yang lebih tinggi yang ditetapkan oleh pihak lain. Kita meletakkan diri
sebagai orang yang membandingkan objek yang dilihat secara jelas dan objek yang
kurang jelas, lalu membuat generalisasi tentang dua macam objek yang
digolongkan dalam dua kelas, dan menjelaskan perbedaannya melalui teori
penglihatan yang memperhitungkan jarak, cahaya, dan seterusnya.
Dengan memakai analogi ini, kita
membedakan pemahaman puisi yang salah dan yang benar, antara pengakuan norma
dan distrosi norma yang tersirat dari karya sastra. Karya sastra bukan
kenyataan empiris dalam arti: ada dalam pikiran orang tertentu atau kelompok
orang tertentu. Karya sastra juga bukan objek ideal yang tidak dapat berubah.
Karya sastra dapat menjadi objek pengalaman, tetapi tidak sama dengan
pengalaman.
Karya sastra mempunya ‘kehidupan’. Ia
lahir pada suatu waktu tertentu, mengalami perubahan dan dapat musnah. Meskipun
begitu, karya sastra juga bersifat historis karena perkembangannya dapat
diuraikan.
Wellek, Rene, Austin Warren. 1949. Theory of Literature. California: Harcourt, Brace, & Company.