12/11/13

Modus Keberadaan Karya Sastra


Apakah puisi yang ‘sebenarnya’ itu?

Selama ini, ada banyak jawaban atas pertanyaan di atas.

Jawaban 1

Puisi merupakan sebuah ‘artefak’, sebuah objek yang sama dengan lukisan atau patung. Karya sastra bisa disamakan dengan garis-garis hitam pada kertas putih, atau naskah kuno, atau seperti puisi di Babilonia—tulisan yang ditatah pada batu bata.

Namun, banyak puisi dan cerita yang tidak pernah dituliskan, dan karya itu tetap bertahan hingga sekarang. Ini artinya, tulisan hanyalah cara menyalin sastra. Sebab, pemusnahan cetakan buku sastra bisa tidak menyentuh karya sastra sama sekali, dan berbeda dengan penghancuran lukisan atau patung dan bangunan.
Jika anggapan mengenai puisi adalah sebuah artefak ini diberi tanggapan serius, maka disimpulkan bahwa setiap buku—atau paling tidak edisi cetakan yang berbeda—adalah karya yang berbeda. Karena, sering ditemukan kesalahan cetak pada teks yang kemudian tak jarang teks tersebut diperbaiki untuk memulihkan makna aslinya. Dengan demikian, dapat dibuktikan bahwa puisi dapat hidup di luar cetakan, dan banyak unsur dari artefak barang cetakan tidak termasuk unsur puisi.

Tidak dapat disangkal bahwa banyak karya sastra yang lenyap dan musnah karena tulisannya hilang. Sarana trafisi oral yang secara teoretis bisa dipakau untuk menyelamatkannya, ternyata gagal berfungsi atau terputus. Tulisan—terutama cetakan—telah memungkinkan kesinambungan sejarah sastra, serta banyak meningkatkan keutuhan dan kesatuan karya sastra.

Dalam periode-periode tertentu dalam sejarah puisi, lukisan grafis telah menjadi bagian dari puisi. Ideogram yang berbentuk gambar pada puisi Cina, merupakan bagian dari makna puisi. Pada tradisi Barat juga ada puisi grafis dan puisi-puisi metafisik yang bisa disamakan dengan gongorisme di Spanyol, marinisme di Italia, dan puisi Barok di Jerman. Teknik-teknik ini merupakan bagian integral dari karya sastra. Meskipun sebagian besar karya sastra tidak memakainya, teknik grafis tidak dapat diabaikan.

Selain itu, fungsi cetakan pada puisi tidak terbatas pada hal-hal yang luar biasa seperti contoh-contoh di atas, tapi juga faktor integral dalam karya sastra. Percetakan telah merupakan bagian penting dari penciptaan puisi modern, karena pusii juga dibuat untuk dilihat, bukan hanya untuk didengar.

Jawaban 2

Puisi dianggap sebagai urutan bunyi yang diucapkan oleh pembaca karya sastra, sebagai inti dari karya sastra.

Namun, setiap pembacaan puisi adalah penyajian puisi, dan bukan puisi itu sendiri. Kita melihat tulisan sebagai suatu kesatuan, dan tidak memotong-motongnya menjadi fonem. Asumsi bahwa puisi ada dalam pembacaan puisi, menghasilkan kesimpulang yang aneh: puisi tidak ada kalau tidak dibacakan, dan puisi selalu diciptakan kembali pada setiap pembacaan.

Pembacaan puisi tidak hanya menambahkan beberapa unsur luar, tetapi menunjukkan seleksi komponen yang tersirat dari teks, dan ini membuat setiap pembacaan puisi selalu muncul unsur-unsur yang melebihi puisi itu sendiri. Ini berarti puisi dapat berada di luar penyajian lisannya, dan penyajian lisan itu mengandung unsur-unsur yang tidak termasuk unsur puisi.

Jawaban 3

Puisi adalah pengalaman pembacanya. Sebuah puisi tak lebih dari proses mental masing-masing pembaca; jadi, sama dengan keadaan mental atau proses yang kita rasakan ketika membaca atau mendengarkan puisi.
Namun jawaban ini mendapatkan banyak penyangkalan. Pengalaman itu tidak dapat disamakan dengan puisi itu sendiri, sebab itu artinya pembaca yang kurang atau tidak berpengalaman tentu lebih banyak membuat distorsi dan lebih dangkal pemahamannya.

Pandangan bahwa pengalaman mental pembaca adalah puisi itu sendiri, mengarah pada kesimpulan puisi itu tidak ada kecuali kalau dialami dan diciptakan kembali dalam setiap pengalaman pembaca. Kalau ini ditanggapi secara serius, tidak mungkin menjelaskan mengapa pengalaman pembaca puisi yang satu lebih baik dari pembaca lainnya, dan mengapa kita dapat mengoreksi pengalaman pembaca lain.

Biarpun menarik dan bermanfaat untuk pendidikan, psikologi pembaca akan selalu berada di luar objek studi sastra—yakni karya sastra yang nyata—, dan tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang struktur dan nilai karya sastra. Teori-teori psikologis adalah teori dampak dan bisa mengarah pada hal-hal yang ekstrem seperti kriteria nilai yang diusulkan oleh A.E. Housman yang menyatakan bahwa puisi yang baik dapat dirasakan dari getaran pada syaraf tulang punggung kita.

Teori-teori psikologis cenderung menghasilkan anarki, skeptisisme, dan kerancuan nilai karena tidak berkaitan dengan struktur atau kualitas puisi. Makna penuh puisi tak akan pernah didapatkan dan pasti ada unsur-unsur pribadi yang ditambahkan pada waktu membaca.

Jawaban 4

Puisi adalah pengalaman penyair (kita dapat menolak pandangan bahwa puisi adalah pengalaman penyair pada waktu tertentu sesudah ia menciptakan karya sastra, yaitu pada saat ia membaca ulang puisinya.
Mungkin yang dimaksud pengalaman pengarang di sini adalah pengalamannya ketika mencipta. Istilah ini bisa berarti dua hal. Pengalaman yang sadar, maksud pengarang yang ingin diwujudkan dalam karyanya, atau pengalaman yang sadar dan tidak sadar selama waktu penciptaan yang diperpanjang.

Karena, maksud pengarang bisa melebihi karyanya. Seniman sering dipengaruhi oleh selera dan formula kritik pada zamannya, ketika ia menyatakan maksudnya, tetapi formula itu mungkin tidak memadai untuk mencirikan keberhasilan artistik seniman. Perbedaan antara maksud sadar dan perwujudan karya sastra adalah fenomena umum dalam sejarah sastra.

Maksud pengarang bukan merupakan komentar yang akurat tentang karyanya, atau tak lebih dari sebuah komentar. Kalau yang dimaksud adalah bagian-bagian integral dari karya sastra yang membantu kita dalam mendapatkan makna yang menyeluruh.

Teori ini mempunyai kekurangan karena meletakkan masalah pada suatu faktor x yang masih merupakan hipotesis dan sulit diukur. Pengalaman pengarang selama mencipta berhenti begitu puisi itu selesai diciptakan. Kita hanya membuat asumsi bahwa pengalaman kita membaca puisi sama dengan pengalaman penyairnya. Kita cenderung melakukan spekulasi yang tak jelas arahnya tentang isi pikiran itu dan lamanya pikiran itu berlangsung pada saat penciptaan.

Cara yang lebih baik adalah membuat batasan karya sastra yang berkaitan dengan pengalaman sosial dan kolektif. Ada dua kemungkinan pemecahan: 1. Kita bisa mengatakan bahwa karya sastra adalah jumlah keseluruhan pengalaman masa lampau dan pengalaman yang mungkin terjadi. 2. Puisi yang ‘sebenarnya’ ada dalam penalaman yang sama dengan semua pengalaman pembaca puisi.

Puisi bukanlah pengalaman perorangan maupun gabungan pengalaman. Puisi hanya merupakan suatu penyebab potensial dari pengalaman. Puisi yang ‘sebenarnya’ harus dilihat sebagai struktur norma yang diwujudkan sebagian melalui pengalaman pembaca. Norma yang dimaksud di sini adalah norma yang tersirat yang harus dikeluarkan dari setiap pengalaman membaca karya sastra, dan yang secara keseluruhan membentuk karya sastra. Dari kesamaan yang didapan ketika membandingkan beberapa karya sastra, kita menyusun klasifikasi norma yang diwujudkannya. Di sini kita sampai pada teori genre dan teori sastra pada umumnya.

Kalau kita menganalisi karya sastra lebih teliti, kita akan menyimpulkan bahwa lebih baik kita melihat karya sastra bukan saja sebagai suatu sistem norma, melainkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari beberapa strata—tiap strata mempunyai kelompok yang lebih kecil.

Karya sastra sama kedudukannya dengan sistem bahasa. Sistem bahasa merupakan kumpulan konversi dan norma yag cara bekerja dan hubungannya dapa diamati dan dilihat sebagai sesuatu yang koheren, walaupun ujaran tiap orang berbeda, tidak sempurna, dan tidak lengkap.

Struktur karya sastra menawarkan ‘kewajiban untuk dipahami’. Mungkin pemahaman kita tidak sempurna, tetapi ‘struktur penentu’ itu ada pada karya sastra dan dapat kita cari, seperti halnya setiap objek pengetahuan yang lain.

Analisis karya sastra menghadali masalah-masalah, yakni cara memecahkan unit makna dan susunan tertentu yang berfungsi estetis. Untuk memecahkan masalah ini dengan bak, kita harus menyelesaikan kontroversi antara nominalisme dan realisme, mentalisme, dan aliran behaviourisme. Itu artinya kita harus menyelesaikan masalah epistemologi.

Kritikus tidak harus berperan sebagai manusia super yang dapat mengkritik pemahaman orang dari luar atau mengaku menangkap seluruh sistem norma dalam suatu tidnak intuisi intelektual. Yang harus dilakukan adalah mengkritik sebagian dari pengetahuan kita dari sudut pandang standar yang lebih tinggi yang ditetapkan oleh pihak lain. Kita meletakkan diri sebagai orang yang membandingkan objek yang dilihat secara jelas dan objek yang kurang jelas, lalu membuat generalisasi tentang dua macam objek yang digolongkan dalam dua kelas, dan menjelaskan perbedaannya melalui teori penglihatan yang memperhitungkan jarak, cahaya, dan seterusnya.

Dengan memakai analogi ini, kita membedakan pemahaman puisi yang salah dan yang benar, antara pengakuan norma dan distrosi norma yang tersirat dari karya sastra. Karya sastra bukan kenyataan empiris dalam arti: ada dalam pikiran orang tertentu atau kelompok orang tertentu. Karya sastra juga bukan objek ideal yang tidak dapat berubah. Karya sastra dapat menjadi objek pengalaman, tetapi tidak sama dengan pengalaman.

Karya sastra mempunya ‘kehidupan’. Ia lahir pada suatu waktu tertentu, mengalami perubahan dan dapat musnah. Meskipun begitu, karya sastra juga bersifat historis karena perkembangannya dapat diuraikan.

Referensi:

Wellek, Rene, Austin Warren. 1949. Theory of Literature. California: Harcourt, Brace, & Company.