19/06/14

Sastra Politik Dalam Tragedi 1965 Dan Setelahnya

Pembakaran dan pelarangan buku adalah salah satu jenis alternatif yang merupakan tindakan nyata atas kebencian terhadap buku. Kebencian terhadap buku terkadang mengambil langkah-langkah yang cukup ekstrem, yang tidak hanya sekedar melakukan pembakaran terhadap buku-buku namun juga penghancuran terhadap manusia pemiliknya atau pengarang buku tersebut.

Penjarahan yang seringkali diakhiri dengan pembakaran telah dilakukan sejak lama, bahkan sudah terjadi sejak jaman Sumeria kuno (4100-3300 SM). Di Indonesia sendiri, bentuk-bentuk penghancuran terhadap buku sudah terjadi sejak jaman penjajahan dimana terdapat pelarangan terhadap buku-buku yang diindikasikan sebagai bacaan liar oleh pemerintah kolonial. Bacaan liar yang menggunakan bahasa Melayu-rendah tersebut merupakan terbitan dari penerbit-penerbit swasta yang dianggap memiliki pandangan berbeda dari Pemerintah Hindia Belanda dan dikhawatirkan mampu merusak moral bangsa. Hal inilah yang kemudian menjadi latar belakang pemerintah kolonial untuk mendirikan suatu taman bacaan resmi yang kemudian terkenal dengan nama Balai Pustaka.

Selain itu, banyak juga terjadi penangkapan sejumlah aktivis pergerakan karena tulisan-tulisan mereka yang menyerang pemerintah kolonial. Era kemerdekaaan, dimasa Demokrasi Terpimpin terjadi pula praktik pelarangan buku terhadap Hoa Kiau di Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer dan Demokrasi Kita karya Mohammad Hatta. Begitu pula dengan hampir semua karya Sutan Takdir, Idrus, dan Mochtar Lubis.

Kemunculan Manifes Kebudayaan (Manikebu) dan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) yang menekankan kebebasan individu untuk berkarya secara kreatif dalam konsepsi humanisme universal hidup di masyarakat liberal menentang semboyan PKI yang saat itu mencapai puncak kejayaan di era Orde Lama. Semboyan PKI tersebut, “politik adalah panglima” membuat seluruh kehidupan masyarakat berada di bawah dominasi politik PKI, dan seluruh gerakan revolusioner dan berbau liberal dilarang. Sehingga, kemunculan Manikebu dan KKPI seolah menjadi juru selamat bagi banyak budayawan, seniman, dan para pengarang Indonesia di era tersebut.

Di masa Orde Baru, pelarangan buku mengambil bentuk yang sistematis akibat tersedianya argumen ideologis dan keperluan mempertahankan sebuah versi ‘kebenaran’ politis. Orde Baru dan kekuasaan Soeharto berdiri di atas sebuah misteri tragedi pembunuhan massal terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI. Kenyataan ini menjadi landasan bagi kebijakan pelarangan terhadap hampir seluruh buku-buku dari mereka yang diasosiasikan kiri.

Setelah kepemimpinan Soeharto jatuh, Indonesia memasuki fase kebebasan, termasuk diantaranya kebebasan dalam dunia penulisan dan penerbitan. Bisa ditemukan dengan bebas buku-buku yang dulunya masuk ke dalam indeks buku-buku terlarang di toko-toko buku, meskipun suasana kebebasan itu tidak bertahan lama.

Buku dan karya sastra yang dihancurkan dan dilarang bukan karena semata-mata fungsinya di dalam masyarakat, namun juga dianggap musuh karena mengandung gagasan humanisme pengarangnya. Buku dan karya sastra memiliki semacam cita-cita atau fantasi mengenai suatu jenis masyarakat masa depan oleh pengarangnya.

Karya sastra tidak hanya mengangkat permasalahan kehidupan atau kondisi sosial. Sering didapati karya sastra yang memuat pula kondisi politik yang merupakan sebuah cita-cita pengarangnya yang menuliskan realita dalam fiksi yang bertolak belakang dengan realita yang terjadi di dalam masyarakat. Hal itu dapat terjadi, karena itulah cita-cita pengarang yang mengharapkan sebuah realita yang lebih baik.

Dalam dunia sastra Indonesia, terjadi pula peristiwa politik yang sangat kentara sekali terlihat dari dua hal: (1) pengelompokan angkatan, dan (2) novel-novel perang. Peran politik tersebut nampak pula hingga Angkatan ’66, dimana saat itu di Indonesia terjadi perang politik dengan menjunjung gerakan revolusioner.

Sebelum 1965

Pada 17 Agustus 1959, amanat Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang diberi judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” dan dikenal sebagai “Manifesto Politik Republik Indonesia” membuat kelahiran teori “Politik adalah panglima”. Semboyan tersebut kemudian membuat dominasi politik di kehidupan masyarakat, baik itu di kampus, rapat-rapat mahasiswa, demonstrasi-demonstrasi ‘revolusioner’, dan lain-lain. Politik juga memasuki dunia kebudayaan dan seniman. Pemaksaan doktrin komunis realisme sosialis menjadi tindakan represif yang terjadi di Indonesia dan bertentangan dengan konsepsi humanisme universal yang menjadi pandangan masyarakat liberal di Eropa Barat, yang lebih menekankan kepada kebebasan individu untuk berkarya secara kreatif. Hal-hal tersebut di atas melatarbelakangi kemunculan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) pada tahun 1963.

Di dalam Prahara Budaya, D.S. Moeljanto menjelaskan bahwa humanisme universal sendiri ada karena infiltrasi kalangan Belanda yang memalingkan sastrawan dan seniman dari perjuangan revolusi. Idrus, di dalam cerita pendeknya yang berjudul “Surabaya” menjelek-jelekkan revolusi yang terjadi di Indonesia masa itu yang juga merupakan salah satu bagian dari pencelaannya terhadap Manifesto Politik. Pemerintah memaksa rakyatnya yang masih mencurigai kemunculan sekutu untuk berpikiran positif terhadap kedatangan tentara Belanda yang hanya memiliki tujuan mengambil tawanan perang.

Teriakan-teriakan membelah udara, tapi pemimpin-pemimpin Indonesia membelah dua jantung rakyat. Mereka ini dengan sekuat tenaga memberikan penerangan kepada rakyat, sekutu tidak akan berlaku seperti di Jakarta. Sekutu hanya akan mengambil tawanan-tawanan perang dan orang-orang Jepang. Jantung rakyat yang sebelah percaya kepada kata-kata pemimpin, tapi jantungnya yang sebelah lagi tetap mencurigai sekutu.
(Idrus, 2000: 121)

Dalam majalah yang sama, Wiratmo Soekito menyatakan bahwa kesusastraan adalah yang memimpin suatu bangsa, namun berbeda dengan pimpinan politik. Wiratmo mengatakan kesusastraan tahu bagaimana mengatasi antimoni-antimoni yang timbul dari aspirasi-aspirasi nasional. Ini berarti, kesusastraan bagi Wiratmo mampu mendukung aspirasi-aspirasi nasional yang memiliki pendirian dan berdasarkan pada asas Pancasila yang telah dirumuskan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni  1945.

Wiratmo memandang Soekarno bukan hanya sebagai seorang politisi, karena ia menilai buku Bung Karno yang berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi” memiliki nilai yang jauh lebih tinggi sebagai suatu bentuk kesusastraan karena mengandung nilai-nilai aspirasi nasional. Buku tersebut merupakan sebuah tulisan Bung Karno mengenai latar belakang sejarah pidatonya yang menjadi awal mula kelahiran Pancasila.

Kembali kepada konsep humanisme universal, Wiratmo menyebut-nyebut kata budi nurani universal di artikel yang sama yang dia ambil dari sebuah kisah Sokrates dan Marx. Di dalam bukunya, Marx berpendapat bahwa humanisme universal merupakan hakikat yang sebenarnya dari kemanusiaan yang membuat seseorang menjadi manusia, namun hakikat itu seringkali berubah-ubah setiap zamannya.

Oleh Novichenko—salah satu penganut baru marxisme—konsep itu kemudian ditafsirkan sebagai kemanusiaan yang dituntut oleh realisme-sosialis. Humanisme universal dan realisme sosialis memiliki satu subyek yang sama yaitu manusia sebagai insan sekaligus sebagai makhluk sosial. Dan dua konsep tersebut pula dapan menjadi manifestasi akar pikiran antikemanusiaan yang apabila kedua konsep tersebut tidak menampilkan idealisme yang telah dipegang teguh dan justru berlawanan dengan kemanusiaan dan kontradiksi antagonistis/aspirasi-aspirasi sosial yang seharusnya.

Persoalan humanisme universal ini menjadi sebuah permasalahan yang rumit dalam kelahiran Manikebu. Dalam diskusi tanya-jawab dan tukar pikiran, diajukan sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan toleransi ideologi, angkatan ’45 dalam kesusastraan Indonesia, dan lain sebagainya.

Kemunculan Manikebu ini kemudian memancing Presiden Soekarno—yang diisukan dekat dengan PKI—untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 8 Mei 1964 yang melarang Manifes Kebudayaan. Para budayawan, seniman, dan pengarang yang menandatangani Manikebu hampir semua karya mereka dilarang karena dianggap sebagai bentuk kontrarevolusioner. Manikebu disebut-sebut sebagai penyelewengan terhadap Revolusi Indonesia yang berporoskan soko guru tani, buruh, dan prajurit. Selain pelarangan hampir semua karya mereka, pengarang pun mendapatkan perilaku yang tidak menyenangkan yang berupa pemecatan, fitnah, dan serangkaian teror.

Lalu munculah pertanyaan, kenapa PKI merasa perlu menyerang Manifes Kebudayaan?

Ada kemungkinan karena para sastrawan, seniman, dan budayawan yang menganut idealisme Pancasila, baik yang mendukung Manikebu maupun yang tidak mendukung telah menyiapkan rencana untuk menyelenggarakan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI), yang pengelompokannya sangat terorganisir dan ditakutkan akan menjadi suatu bahaya yang akan berkembang menjadi lebih besar jika tidak sesegera mungkin dihentikan.

Konsep hati nurani universal lalu menjadi tidak sesuai bagi PKI dan dinilai terlalu umum serta tidak revolusioner sehingga memberikan tuduhan baru bahwasanya Manikebu memisahkan kebudayaan dan politik, menjadikan Manikebu pegangan dan pedoman berarti mengesampingkan Manifesto Politik. Hal itu diperparah dengan pernyataan Presiden Soekarno yang menganggap pendukung Manikebu ragu-ragu terhadap revolusi dan menganggap Manikebu bertentangan dengan Manifesto Politik.

Pada tanggal 27 Agustus-2 September 1964, PKI mengadakan Konferensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner di Jakarta. Hal tersebut dilakukan untuk menandingi KKPI dan juga membuktikan bahwa suasana kebudayaan saat itu berada di bawah kekuasaan PKI. Manikebu kemudian berhasil dipukul mundur, namun benteng Pancasila yang dipegang teguh oleh para pendukungnya tidak dapat ditaklukkan.

1965 dan setelahnya

Puncak dari perseteruan para pengarang/sastrawan Indonesia yang mendukung dan menandatangani Manifes Kebudayaan dengan sastrawan Lekra—yang diasosiasikan sebagai pendukung PKI—terjadi selepas pecah kudeta Gerakan 30 September 1965. Segala hal yang dulunya bersifat paksaan, desakan dalam berbagai bidang kehidupan, seakan-akan hilang begitu saja saat beberapa hari setelah peristiwa Gestapu diadakan rapat raksasa yang menuntut partai dan ormas yang terlibat Gestapu segera dibubarkan.

Dalam bidang kesusastraan sendiri, perubahan terjadi sangat cepat dengan dihadapkannya situasi tragis dengan sastrawan Lekra, baik yang terlibat langsung maupun yang sekedar simpatisan. Mereka diburu, ditangkapi, dan dipenjarakan, sebagiannya tanpa proses pengadilan apa pun. Hal ini sangat berlawanan dengan para pengarang yang menandatangani Manikebu yang sebelumnya terus menerus merasakan teror dan dikejar-kejar ketakutan menjadi terbebas begitu saja dari sebuah lubang sempit dan gelap. Mereka muncul kembali dengan semangat baru dan menjadi lebih berhati-hati dalam menyikapi kehidupan politik.

Gerakan pertama yang dilakukan di bidang kebudayaan setelah Gestapu dan pembubaran PKI terjadi, diselenggarakan sebuah Simposium Kebangkitan Semangat ’66: Mendjeladjah Tracee Baru yang dilangsungkan di Universitas Indonesia tanggal 6-9 Mei 1966. Penyenggaraan simposium ini dilatarbelakangi kesadaran bahwa kebudayaan harus terbebas dari segala macam kekuasaan politik. Dari simposium ini pula muncul istilah Angkatan ’66. Istilah Angkatan ’66 ini sebagai bukti sekaligus menegaskan sikap yang menolak campur tangan bahkan dominasi politik di dalam bidang seni dan budaya, karena terdapat anggapan bahwa kedua hal tersebut berada di wilayah yang berbeda. H.B. Jassin menggunakan istilah ini dengan tujuan sebagai sebuah gerakan yang mencerminkan semangat perlawanan atas berbagai penyelewengan yang dilakukan pemerintah saat itu.

Dengan adanya sikap yang menolak politisasi dalam dunia sastra Indonesia membuat peran politik dalam dunia kesusastraan Indonesia memudar selepas Angkatan ’66. Para pengaran Indonesia tidak lagi melahirkan karya sastra yang signifikan sebagai respons terhadap masalah-masalah politik, dan lebih merespons terhadap kondisi sosial.

Karya sastra Indonesia kemudian didominasi oleh novel-novel yang lebih berfokus kepada masalah pribadi, maupun lepas dari kondisi sosial. Hal ini diikuti dengan bermunculannya pengarang-pengarang wanita yang kini mulai mengimbangi jumlah pengarang laki-laki yang selama ini mendominasi dunia sastra Indonesia. Mungkin salah satu penyebab kurangnya diangkat tema politik adalah karena kemunculan wajah-wajah baru tersebut. Sebagai contoh Barokah, yang merupakan seorang penyair perempuan berasal dari Semarang yang karyanya bersifat impresif, kaya akan emosi dan melankoli. Selain itu, terdapat juga Isma Sawitri yang puisi-puisinya sarat dengan permasalahan manusia dan kehidupan.

Ternyata, suasana yang kondusif bagi pengarang untuk berkarya dan mengembangkan kebebasan berkreasi tidak berbanding lurus dengan apresiasi dan tanggapan masyarakat. Hal itu terjadi ketika majalah Sastra4 yang terbit pada bulan Agustus 1968 memuat sebuah cerpen karya Kipanjikusmin yang berjudul “Langit Makin Mendung”. Cerpen ini menuai banyak protes keras dari umat Islam karena cerpen tersebut menggunakan tokoh-tokoh simbolik yang sangat dimuliakan oleh umat Muslim. Kasus ini bahkan berujung ke meja hijau dengan H.B. Jassin sebagai terdakwa, sekaligus menjadi sejarah baru dalam dunia sastra Indonesia dimana sebuah karya sastra diperkarakan di depan pengadilan. Terlebih lagi dengan anonim pengarang yang tidak diketahui dan justru H.B. Jassin lah yang mendapatkan vonis hukuman dipenjara selama satu tahun.

Kasus ini bisa jadi merupakan salah satu bentuk representasi kebebasan berekspresi yang dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut: (1) pudarnya pengaruh politik dalam kesenian, dan lebih khusus lagi kesusastraan, (2) penerbitan kembali sejumlah majalah dan surat kabar yang independen dan menyediakan rubrik sastra, memungkinkan sastrawan memiliki banyak pilihan untuk mengirimkan karyanya ke berbagai media tanpa adanya tekanan faktor di luar sastra, (3) terbitnya majalah Horison dan Budaya Jaya yang memberi tempat bagi karya-karya eksperimental, (4) berdirinya Dewan Kesenian Jakarta yang didukung sepenuhnya oleh Pemerintah DKI Jakarta yang mendorong keberanian untuk lebih bereksperimen, dan (5) terjadinya pergeseran orientasi sastrawan yang memandang tradisi budaya memberi kemungkinan yang lebih pas bagi para sastrawan dalam melakukan eksplorasi estetiknya.

Majalah Budaja Djaja merupakan majalah yang terbit pertama kali pada 2 Juni 1968 dengan mengatasnamakan Dewan Kesenian Jakarta yang dicampurtangani oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin yang menyatakan betapa pentingnya kebebasan disalurkan secara kreatif. Di edisi pertama, Nono Anwar Makarim menulis artikel Belenggu Sikap Mental yang sengaja mengingatkan pemerintah Orde Baru untuk tidak memanipulasi slogan “persatuan dan kesatuan”. Makarim seolah sudah menangkap adanya kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan.

Selain kritik terhadap Orde Baru, Nono Anwar Makarim juga menyimpan harapan bahwa Budaya Jaya sebagai media kebudayaan, dapat memulai mengangkat wacana keberagaman (bhineka), dan tidak melulu keseragaman (tunggal ika). Setelah edisi tersebut, tidak ada lagi artikel dengan jenis yang serupa ditemukan di Budaya Jaya yang kemudian lebih memfokuskan pada tulisan yang membicarakan masalah kebudayaan dan kesusastraan. Dan tulisan Nono Anwar Makarim menjadi semarak kembali dan menjadi wacana publik ketika pemerintah Orde Baru tumbang oleh gerakan reformasi, Mei 1997.

Referensi:

Báez, Fernando. 2013. Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Terjemahan: Lita Soerjadinata. Jakarta: Marjin Kiri.
Darma, Budi. 2007. Bahasa, Sastra, dan Budi Darma. Surabaya: JP Books.
Idrus. 2000. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Jakarta: Balai Pustaka.
Moeljanto, D.S. & Taufiq Ismail. 1995. Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI, dkk. (Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah). Bandung: Mizan.
Rosidi, Ajip. 1976. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Cikapundung.
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional Indonesia VI: Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.



05/06/14

Cerita Rakyat, Cerita Warisan Leluhur


Rasanya untuk bulan Mei lalu saya terlalu sering mendengar kata yang berhubungan dengan ‘cerita rakyat’ dari berbagai media. Di mulai dari ajakan teman untuk ikutan event Camp NaNoWriMo & antologi cerita daerah. Kemudian ada FanFiction Event: Folktale Month. Lalu di malam selasa kemarin, saya nonton acara TV favorit yang merupakan sebuah acara parody Indonesia Lawak Klub yang mengusung tema Cerita Rakyat: Merakyat atau Dilupakan yang semakin menggelitik hati saya untuk menulis artikel yang berkaitan erat dengan cerita rakyat ini.


Apa sih cerita rakyat itu?

Dari namanya sendiri, cerita rakyat berarti cerita yang hidup di tengah-tengah rakyat. Cerita rakyat seringkali dituturkan oleh ibu kepada anaknya entah itu untuk sekedar mengisi waktu kosong, atau sebelum si anak tidur. Dari sejarahnya, cerita rakyat itu pertama kali diturunkan secara lisan dari satu generasi kepada generasi yang lebih muda. Meskipun sekarang tradisi mendongeng ini semakin sedikit karena kesibukan orang tua yang memiliki jadwal jauh lebih padat daripada para orang tua jaman dulu dan mengingat anak jaman sekarang yang memandang cerita rakyat ataupun mendongeng adalah sebuah tradisi yang kuno.

Dulu, cerita rakyat jarang ada yang dituliskan mengingat tukang cerita yang menuturkannya belum tentu bisa membaca, sehingga cerita rakyat cenderung mengalami perubahan jika diceritakan kembali oleh orang yang berbeda. Berbeda dengan sastra tertulis yang hidup di istana kerajaan yang memiliki bukti nyata berupa tulisan dalam naskah-naskah kuno. Tapi, tidak jarang ada pula cerita rakyat yang kemudian diangkat menjadi sastra tertulis karena kehendak istana. Itu pun ceritanya kemudian disusun kembali dan disesuaikan dengan kehendak istana.

Apa yang menjadi ciri khas cerita rakyat?

Cerita rakyat mencakup suatu bidang yang cukup luas, cerita-cerita, ungkapan, peribahasa, nyanyian, adat resam, undang-undang, teka-teki, permainan, kepercayaan dan perayaan yang kesemuanya itu bisa didapatkan di dalam cerita rakyat. Dengan mengkaji cerita atau sastra rakyat, dapat diketahui pandangan dunia, nilai kemasyarakatan dan masyarakat yang mendukungnya.

Menurut Liaw Yock Fang, cerita rakyat dibagi menjadi empat jenis, yaitu:

  • Cerita asal-usul
Atau bahasa kerennya dongeng aetiologis. Merupakan cerita rakyat paling tua yang sudah bisa dimasukkan ke dalam bidang mitos, dan cerita yang dianggap benar-benar terjadi oleh penceritanya. Cerita asal-usul, bukan saja menceritakan asal mula suatu tempat atau desa. Tapi juga menceritakan penciptaan alam semesta seperti bumi, matahari, bulan, dan manusia. Ada pula asal-usul berbagai tanaman dan tumbuh-tumbuhan, dan binatang. Atau penjelasan mengapa di tepi sungai hutan rimba banyak pohon-pohon yang tinggi, atau bahkan penyebab tongkol jagung berlubang dan lain sebagainya. Mau tahu beberapa dongeng aetiologis? Bisa baca di Ringkasan Beberapa Dongeng Aetiologis.
  •  Cerita binatang.
Yang biasa disebut dengan cerita fabel, dimana binatang-binatang diceritakan memiliki kemampuan dan berlaku layaknya manusia. Cerita binatang ini termasuk jenis sastra rakyat yang sangat populer, karena masing-masing bangsa di dunia ini memiliki cerita binatang. Kayak bangsa Melayu, Jepang, India, dll. Cuman anehnya, ada cerita-cerita binatang dari beberapa bangsa yang punya banyak persamaan. Seperti contohnya cerita Kancil yang lomba lari dengan Siput. Nah, ternyata cerita perlombaan dua binatang itu tidak hanya dimiliki oleh Indonesia, seorang. Tapi juga ada di India, Eropa, Jepang, dll. Yang berbeda adalah jenis binatangnya. Nah, kalau di Indonesia kan yang berlomba lari adalah Kancil dan Siput. Kalau di India beda lagi. Yang berlomba justru Kura-kura dan Burung Garuda yang dipercaya sebagai tunggangan Dewa Wisnu. Kalau di Eropa yang berlomba adalah Kura-kura dan Kelinci. Di cerita lain pun begitu juga.
Loh, kok bisa sih ada kesamaan cerita seperti itu? Jangan-jangan yang lainnya ngeplagiat lagi.
Hehehe, kayak kasusnya sinetron yang ngeplagiat drama aja ah. Sampai sekarang sih, belum ditemukan kebenarannya kayak gimana. Tapi ada lumayan banyak teori dari para sarjana yang seneng dongeng /heh yang mencoba menjawab pertanyaan di atas. Ada yang bilang karena cerita-cerita binatang itu sumber aslinya dari India, terus kesebar di Asia dan Eropa. Uhm… emang bener sih. Mengingat di India memang banyak ditemukan kumpulan cerita binatang yang katanya Liaw Yock Fang ‘masyhur’, macem cerita Jataka, Pancatantra, dan Sukasapti (dan penulis belum baca tiga-tiganya, hehe /plak). Soalnya, dalam pandangan orang-orang India tuh, semua makhluk—entah yang bentuknya dewa, jin, atau manusia, bahkan binatang—itu sama aja. Mereka percaya manusia itu kalau menititis (?) mungkin bakalan jadi binatang. Gitu juga binatang yang mungkin bisa jadi manusia juga. Jadi karena kepercayaan gitu kali ya binatang dibikin sama kayak manusia, bisa ngomong dan berpikir. Kalau misalnya manusia yang dibikin kayak binatang? Hm… mungkin banyak juga terdapat di dunia ini. Hehe.

Teori lain bilang beda lagi. Mereka berpendapat kalau cerita binatang tuh lahir dalam masyarakat yang primitif di mana saja. Jadi, gak mesti di India doang. Nah, masyarakat primitif ini kan manusianya masih tinggal di gua, terus tiap hari temenannya sama binatang aja. Jadi mereka lalu bergantung pada binatang buat hidup. Jadi, mereka tahu banget sifat-sifat binatang. Terus, binatang juga dikasih sifat-sifat manusia, dan bagi mereka perbedaan bentuk fisik tuh tidak penting. Duh, duh, duh, kayak Tarzan aja ya? Hehe. Salah satu contoh cerita binatang adalah Hikayat Pelanduk Jenaka.
  • Cerita jenaka
Cerita jenaka, ya berarti ceritanya jenaka. Kalau dari KBBI sih, arti dari jenaka adalah “membangkitkan tawa, kocak, lucu; menggelikan”. Jadi, kalau misalnya ada orang yang sukanya melucu, belum tentu jenaka karena belum tentu dia bisa membangkitkan tawa. Tapi, kalau ada orang yang gak ngomong aja udah bikin orang ketawa, nah berarti itu badut /hei!

Eh tapi, ternyata di kamus  A Malay-English Dictionary-nya R. J. Wilkinson, jenaka tuh memiliki arti, “wily, full of stratagem”. Jadi cerita jenaka itu bisa juga diartikan sebagai cerita mengenai tokoh yang lucu, menggelikan, atau licik dan licin.

Tahu gak sih, cerita jenaka tuh lahir karena manusia tuh lebay. Sebagai contoh tuh, kalau mau menceritakan kebodohan manusia, yang tercipta adalah tokoh yang bodoh banget. Kalau contoh di dalam cerita rakyat tuh, Pak Pandir. Kalau dalam kehidupan sehari-hari, silakan lihat TV aja dan pilih channel yang banyak acara lawak-lawakannya hehe.

Selain pembodohan, ada juga tuh, kalau mau menceritakan ke-hoki-an manusia, dibikin hoki banget, contohnya dalam cerita rakyat ya Pak Belalang. Terus kalau mau bikin tokoh licik, jadi licik banget kayak cerita Si Luncai. Kalau malang banget, ya kayak cerita Lebai Malang. Dan kalau mau yang lucu banget ya Abu Nawas.

Cerita jenaka tuh merupakan bagian dari sastra dunia. Kalau dalam sastra Jerman dan Belanda, ada tokoh terkenal yang namanya Uilenspiegel (uil: burung hantu, spiegel: cermin). Kalau dalam sastra Arab-Turki, ada yang namanya Jaha atau Khoja Nasreddin yang kalau dalam Arab-Parsi dikenal dengan nama Abu Nawas. Nah kalau dalam sastra Nuantara, orang Batak dikenal paling banyak tokoh-tokoh jenakanya, macem Ama ni Pandir, Si Lahap, Si Bilolang, dan Si Jonaha atau Jonaka. Terus Sunda juga punya Kebayan. Cuman Kebayan ini tuh lebih ke merangkum semua ciri cerita jenaka. Kadang dia bodoh banget, kadang-kadang dia juga licik, dan ada juga diceritain dia mujur dan selamat dari bahaya yang mengancamnya. Kalau dalam Sastra Jawa sih, cerita jenaka kurang berkembang. Apa karena orang Jawa suka serius, ya, makanya cerita jenaka gak laku. Hehe /plak. Uhm, tapi mungkin karena dalam pewayangan sendiri ada tokoh Punakawan yang selalu muncul dengan tingkah jenaka kayak Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong.
  • Cerita pelipur lara
Bahasa kerennya folk-romance. Orang Melayu sendiri yang namain kayak gituan. Kenapa? Karena cerita pelipur lara adalah jenis cerita yang berguna buat melipur hati yang lara, yang duka nestapa, dan galau. Nah, kan dulu gak ada yang namanya radio, TV, film. Jadi kalau lagi galau, makin merana deh karena sendirian, gak kayak anak muda jaman sekarang, yang galau dikit langsung pergi ke bioskop /heh.

Nah, karena itulah cerita pelipur lara jadi satu-satunya hiburan buat yang laranya terluka /elah ah. Kalau matahari sudah terbenam, terus orang kampung udah pada makan dan mulai istirahat, saat itulah si tukang cerita mulai beraksi. Bercerita dengan nada yang merata seolah-olah membaca dari sebuah kitab. Sampai larut malam, cerita itu terus berlanjut. Nah, kalau misalnya dalam satu malam aja belum selesai ceritanya, lanjut lagi ke malam berikutnya, dan episode dua dan seterusnya pun dimulai. Macem sinetron aja ye.

Nah, hebatnya tuh, si tukang cerita gak pernah bikin kesalahan dalam bercerita meskipun dia gak bisa baca tulis. Si tukang cerita ini dinamai sahibul hikayat, dan dia bercerita tuh demi mencari nafkah dari satu kampung ke kampung yang lain. Dan karena cuman si sahibul hikayat ini satu-satunya hiburan, so jelaslah kedatangannya selalu disambut hangat sama orang kampung.