Pembakaran
dan pelarangan buku adalah salah satu jenis alternatif yang merupakan tindakan
nyata atas kebencian terhadap buku. Kebencian terhadap buku terkadang mengambil
langkah-langkah yang cukup ekstrem, yang tidak hanya sekedar melakukan pembakaran
terhadap buku-buku namun juga penghancuran terhadap manusia pemiliknya atau
pengarang buku tersebut.
Kemunculan Manifes Kebudayaan (Manikebu) dan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) yang menekankan kebebasan individu untuk berkarya secara kreatif dalam konsepsi humanisme universal hidup di masyarakat liberal menentang semboyan PKI yang saat itu mencapai puncak kejayaan di era Orde Lama. Semboyan PKI tersebut, “politik adalah panglima” membuat seluruh kehidupan masyarakat berada di bawah dominasi politik PKI, dan seluruh gerakan revolusioner dan berbau liberal dilarang. Sehingga, kemunculan Manikebu dan KKPI seolah menjadi juru selamat bagi banyak budayawan, seniman, dan para pengarang Indonesia di era tersebut.
Persoalan
humanisme universal ini menjadi
sebuah permasalahan yang rumit dalam kelahiran Manikebu. Dalam diskusi
tanya-jawab dan tukar pikiran, diajukan sejumlah pertanyaan yang berhubungan
dengan toleransi ideologi, angkatan ’45 dalam kesusastraan Indonesia, dan lain
sebagainya.
Selain kritik terhadap Orde Baru, Nono Anwar Makarim juga menyimpan harapan bahwa Budaya Jaya sebagai media kebudayaan, dapat memulai mengangkat wacana keberagaman (bhineka), dan tidak melulu keseragaman (tunggal ika). Setelah edisi tersebut, tidak ada lagi artikel dengan jenis yang serupa ditemukan di Budaya Jaya yang kemudian lebih memfokuskan pada tulisan yang membicarakan masalah kebudayaan dan kesusastraan. Dan tulisan Nono Anwar Makarim menjadi semarak kembali dan menjadi wacana publik ketika pemerintah Orde Baru tumbang oleh gerakan reformasi, Mei 1997.
Referensi:
Báez, Fernando. 2013. Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Terjemahan: Lita Soerjadinata. Jakarta: Marjin Kiri.
Penjarahan
yang seringkali diakhiri dengan pembakaran telah dilakukan sejak lama, bahkan
sudah terjadi sejak jaman Sumeria kuno (4100-3300 SM). Di Indonesia
sendiri, bentuk-bentuk penghancuran terhadap buku sudah terjadi sejak jaman
penjajahan dimana terdapat pelarangan terhadap buku-buku yang diindikasikan
sebagai bacaan liar oleh pemerintah kolonial. Bacaan liar yang menggunakan
bahasa Melayu-rendah tersebut merupakan terbitan dari penerbit-penerbit swasta
yang dianggap memiliki pandangan berbeda dari Pemerintah Hindia Belanda dan
dikhawatirkan mampu merusak moral bangsa. Hal inilah yang kemudian menjadi
latar belakang pemerintah kolonial untuk mendirikan suatu taman bacaan resmi
yang kemudian terkenal dengan nama Balai Pustaka.
Selain
itu, banyak juga terjadi penangkapan sejumlah aktivis pergerakan karena
tulisan-tulisan mereka yang menyerang pemerintah kolonial. Era kemerdekaaan,
dimasa Demokrasi Terpimpin terjadi pula praktik pelarangan buku terhadap Hoa Kiau di Indonesia karya Pramoedya
Ananta Toer dan Demokrasi Kita karya
Mohammad Hatta. Begitu pula dengan hampir semua karya Sutan Takdir, Idrus, dan
Mochtar Lubis.
Kemunculan Manifes Kebudayaan (Manikebu) dan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) yang menekankan kebebasan individu untuk berkarya secara kreatif dalam konsepsi humanisme universal hidup di masyarakat liberal menentang semboyan PKI yang saat itu mencapai puncak kejayaan di era Orde Lama. Semboyan PKI tersebut, “politik adalah panglima” membuat seluruh kehidupan masyarakat berada di bawah dominasi politik PKI, dan seluruh gerakan revolusioner dan berbau liberal dilarang. Sehingga, kemunculan Manikebu dan KKPI seolah menjadi juru selamat bagi banyak budayawan, seniman, dan para pengarang Indonesia di era tersebut.
Di
masa Orde Baru, pelarangan buku mengambil bentuk yang sistematis akibat
tersedianya argumen ideologis dan keperluan mempertahankan sebuah versi
‘kebenaran’ politis. Orde Baru dan kekuasaan Soeharto berdiri di atas sebuah
misteri tragedi pembunuhan massal terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota
dan simpatisan PKI. Kenyataan ini menjadi landasan bagi kebijakan pelarangan
terhadap hampir seluruh buku-buku dari mereka yang diasosiasikan kiri.
Setelah
kepemimpinan Soeharto jatuh, Indonesia memasuki fase kebebasan, termasuk
diantaranya kebebasan dalam dunia penulisan dan penerbitan. Bisa ditemukan
dengan bebas buku-buku yang dulunya masuk ke dalam indeks buku-buku terlarang
di toko-toko buku, meskipun suasana kebebasan itu tidak bertahan lama.
Buku
dan karya sastra yang dihancurkan dan dilarang bukan karena semata-mata
fungsinya di dalam masyarakat, namun juga dianggap musuh karena mengandung
gagasan humanisme pengarangnya. Buku dan karya sastra memiliki semacam
cita-cita atau fantasi mengenai suatu jenis masyarakat masa depan oleh
pengarangnya.
Karya
sastra tidak hanya mengangkat permasalahan kehidupan atau kondisi sosial.
Sering didapati karya sastra yang memuat pula kondisi politik yang merupakan
sebuah cita-cita pengarangnya yang menuliskan realita dalam fiksi yang bertolak
belakang dengan realita yang terjadi di dalam masyarakat. Hal itu dapat
terjadi, karena itulah cita-cita pengarang yang mengharapkan sebuah realita
yang lebih baik.
Dalam
dunia sastra Indonesia, terjadi pula peristiwa politik yang sangat kentara
sekali terlihat dari dua hal: (1) pengelompokan angkatan, dan (2) novel-novel
perang. Peran politik tersebut nampak pula hingga Angkatan ’66, dimana saat itu
di Indonesia terjadi perang politik dengan menjunjung gerakan revolusioner.
Sebelum
1965
Pada
17 Agustus 1959, amanat Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang diberi
judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” dan dikenal sebagai “Manifesto Politik
Republik Indonesia” membuat kelahiran teori “Politik adalah panglima”. Semboyan
tersebut kemudian membuat dominasi politik di kehidupan masyarakat, baik itu di
kampus, rapat-rapat mahasiswa, demonstrasi-demonstrasi ‘revolusioner’, dan
lain-lain. Politik juga memasuki dunia kebudayaan dan seniman. Pemaksaan
doktrin komunis realisme sosialis
menjadi tindakan represif yang terjadi di Indonesia dan bertentangan dengan
konsepsi humanisme universal yang
menjadi pandangan masyarakat liberal di Eropa Barat, yang lebih menekankan
kepada kebebasan individu untuk berkarya secara kreatif. Hal-hal tersebut di
atas melatarbelakangi kemunculan Manifesto
Kebudayaan (Manikebu) dan Konferensi
Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) pada tahun 1963.
Di
dalam Prahara Budaya, D.S. Moeljanto
menjelaskan bahwa humanisme universal
sendiri ada karena infiltrasi kalangan Belanda yang memalingkan sastrawan dan
seniman dari perjuangan revolusi. Idrus, di dalam cerita pendeknya yang
berjudul “Surabaya” menjelek-jelekkan revolusi yang terjadi di Indonesia masa
itu yang juga merupakan salah satu bagian dari pencelaannya terhadap Manifesto
Politik. Pemerintah memaksa rakyatnya yang masih mencurigai kemunculan sekutu
untuk berpikiran positif terhadap kedatangan tentara Belanda yang hanya
memiliki tujuan mengambil tawanan perang.
Teriakan-teriakan
membelah udara, tapi pemimpin-pemimpin Indonesia membelah dua jantung rakyat.
Mereka ini dengan sekuat tenaga memberikan penerangan kepada rakyat, sekutu
tidak akan berlaku seperti di Jakarta. Sekutu hanya akan mengambil
tawanan-tawanan perang dan orang-orang Jepang. Jantung rakyat yang sebelah
percaya kepada kata-kata pemimpin, tapi jantungnya yang sebelah lagi tetap
mencurigai sekutu.
(Idrus,
2000: 121)
Dalam
majalah yang sama, Wiratmo Soekito menyatakan bahwa kesusastraan adalah yang
memimpin suatu bangsa, namun berbeda dengan pimpinan politik. Wiratmo
mengatakan kesusastraan tahu bagaimana mengatasi antimoni-antimoni yang timbul
dari aspirasi-aspirasi nasional. Ini berarti, kesusastraan bagi Wiratmo mampu
mendukung aspirasi-aspirasi nasional yang memiliki pendirian dan berdasarkan
pada asas Pancasila yang telah dirumuskan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945.
Wiratmo
memandang Soekarno bukan hanya sebagai seorang politisi, karena ia menilai buku
Bung Karno yang berjudul “Di Bawah
Bendera Revolusi” memiliki nilai yang jauh lebih tinggi sebagai suatu
bentuk kesusastraan karena mengandung nilai-nilai aspirasi nasional. Buku
tersebut merupakan sebuah tulisan Bung Karno mengenai latar belakang sejarah
pidatonya yang menjadi awal mula kelahiran Pancasila.
Kembali
kepada konsep humanisme universal, Wiratmo
menyebut-nyebut kata budi nurani universal di artikel yang sama yang dia ambil
dari sebuah kisah Sokrates dan Marx. Di dalam bukunya, Marx berpendapat bahwa humanisme universal merupakan hakikat
yang sebenarnya dari kemanusiaan yang membuat seseorang menjadi manusia, namun
hakikat itu seringkali berubah-ubah setiap zamannya.
Oleh
Novichenko—salah satu penganut baru marxisme—konsep itu kemudian ditafsirkan
sebagai kemanusiaan yang dituntut oleh realisme-sosialis.
Humanisme universal dan realisme sosialis memiliki satu subyek
yang sama yaitu manusia sebagai insan sekaligus sebagai makhluk sosial. Dan dua
konsep tersebut pula dapan menjadi manifestasi akar pikiran antikemanusiaan
yang apabila kedua konsep tersebut tidak menampilkan idealisme yang telah
dipegang teguh dan justru berlawanan dengan kemanusiaan dan kontradiksi
antagonistis/aspirasi-aspirasi sosial yang seharusnya.
Kemunculan
Manikebu ini kemudian memancing Presiden Soekarno—yang diisukan dekat dengan
PKI—untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 8 Mei 1964 yang melarang Manifes
Kebudayaan. Para budayawan, seniman, dan pengarang yang menandatangani Manikebu
hampir semua karya mereka dilarang karena dianggap sebagai bentuk
kontrarevolusioner. Manikebu disebut-sebut sebagai penyelewengan terhadap
Revolusi Indonesia yang berporoskan soko
guru tani, buruh, dan prajurit. Selain pelarangan hampir semua karya
mereka, pengarang pun mendapatkan perilaku yang tidak menyenangkan yang berupa
pemecatan, fitnah, dan serangkaian teror.
Lalu
munculah pertanyaan, kenapa PKI merasa perlu menyerang Manifes Kebudayaan?
Ada
kemungkinan karena para sastrawan, seniman, dan budayawan yang menganut
idealisme Pancasila, baik yang mendukung Manikebu maupun yang tidak mendukung
telah menyiapkan rencana
untuk menyelenggarakan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI), yang
pengelompokannya sangat terorganisir dan ditakutkan akan menjadi suatu bahaya
yang akan berkembang menjadi lebih besar jika tidak sesegera mungkin
dihentikan.
Konsep
hati nurani universal lalu menjadi tidak sesuai bagi PKI dan dinilai terlalu
umum serta tidak revolusioner sehingga memberikan tuduhan baru bahwasanya Manikebu
memisahkan kebudayaan dan politik, menjadikan Manikebu pegangan dan pedoman
berarti mengesampingkan Manifesto Politik. Hal itu diperparah dengan pernyataan
Presiden Soekarno yang menganggap pendukung Manikebu ragu-ragu terhadap
revolusi dan menganggap Manikebu bertentangan dengan Manifesto Politik.
Pada
tanggal 27 Agustus-2 September 1964, PKI mengadakan Konferensi Nasional Sastra
dan Seni Revolusioner di Jakarta. Hal tersebut dilakukan untuk menandingi KKPI
dan juga membuktikan bahwa suasana kebudayaan saat itu berada di bawah
kekuasaan PKI. Manikebu kemudian berhasil dipukul mundur, namun benteng
Pancasila yang dipegang teguh oleh para pendukungnya tidak dapat ditaklukkan.
1965
dan setelahnya
Puncak
dari perseteruan para pengarang/sastrawan Indonesia yang mendukung dan
menandatangani Manifes Kebudayaan dengan sastrawan Lekra—yang diasosiasikan
sebagai pendukung PKI—terjadi selepas pecah kudeta Gerakan 30 September 1965.
Segala hal yang dulunya bersifat paksaan, desakan dalam berbagai bidang kehidupan,
seakan-akan hilang begitu saja saat beberapa hari setelah peristiwa Gestapu
diadakan rapat raksasa yang menuntut partai dan ormas yang terlibat Gestapu
segera dibubarkan.
Dalam
bidang kesusastraan sendiri, perubahan terjadi sangat cepat dengan dihadapkannya
situasi tragis dengan sastrawan Lekra, baik yang terlibat langsung maupun yang
sekedar simpatisan. Mereka diburu, ditangkapi, dan dipenjarakan, sebagiannya
tanpa proses pengadilan apa pun. Hal ini sangat berlawanan dengan para
pengarang yang menandatangani Manikebu yang sebelumnya terus menerus merasakan
teror dan dikejar-kejar ketakutan menjadi terbebas begitu saja dari sebuah
lubang sempit dan gelap. Mereka muncul kembali dengan semangat baru dan menjadi
lebih berhati-hati dalam menyikapi kehidupan politik.
Gerakan
pertama yang dilakukan di bidang kebudayaan setelah Gestapu dan pembubaran PKI
terjadi, diselenggarakan sebuah Simposium Kebangkitan Semangat ’66:
Mendjeladjah Tracee Baru yang dilangsungkan di Universitas Indonesia tanggal
6-9 Mei 1966. Penyenggaraan simposium ini dilatarbelakangi kesadaran bahwa
kebudayaan harus terbebas dari segala macam kekuasaan politik. Dari simposium
ini pula muncul istilah Angkatan ’66. Istilah Angkatan ’66 ini sebagai bukti
sekaligus menegaskan sikap yang menolak campur tangan bahkan dominasi politik
di dalam bidang seni dan budaya, karena terdapat anggapan bahwa kedua hal
tersebut berada di wilayah yang berbeda. H.B. Jassin menggunakan istilah ini
dengan tujuan sebagai sebuah gerakan yang mencerminkan semangat perlawanan atas
berbagai penyelewengan yang dilakukan pemerintah saat itu.
Dengan
adanya sikap yang menolak politisasi dalam dunia sastra Indonesia membuat peran
politik dalam dunia kesusastraan Indonesia memudar selepas Angkatan ’66. Para
pengaran Indonesia tidak lagi melahirkan karya sastra yang signifikan sebagai
respons terhadap masalah-masalah politik, dan lebih merespons terhadap kondisi
sosial.
Karya
sastra Indonesia kemudian didominasi oleh novel-novel yang lebih berfokus
kepada masalah pribadi, maupun lepas dari kondisi sosial. Hal ini diikuti
dengan bermunculannya pengarang-pengarang wanita yang kini mulai mengimbangi
jumlah pengarang laki-laki yang selama ini mendominasi dunia sastra Indonesia.
Mungkin salah satu penyebab kurangnya diangkat tema politik adalah karena
kemunculan wajah-wajah baru tersebut. Sebagai contoh Barokah, yang merupakan
seorang penyair perempuan berasal dari Semarang yang karyanya bersifat
impresif, kaya akan emosi dan melankoli. Selain itu, terdapat juga Isma Sawitri
yang puisi-puisinya sarat dengan permasalahan manusia dan kehidupan.
Ternyata,
suasana yang kondusif bagi pengarang untuk berkarya dan mengembangkan kebebasan
berkreasi tidak berbanding lurus dengan apresiasi dan tanggapan masyarakat. Hal
itu terjadi ketika majalah Sastra4 yang terbit pada bulan Agustus
1968 memuat sebuah cerpen karya Kipanjikusmin yang berjudul “Langit Makin
Mendung”. Cerpen ini menuai banyak protes keras dari umat Islam karena cerpen
tersebut menggunakan tokoh-tokoh simbolik yang sangat dimuliakan oleh umat
Muslim. Kasus ini bahkan berujung ke meja hijau dengan H.B. Jassin sebagai
terdakwa, sekaligus menjadi sejarah baru dalam dunia sastra Indonesia dimana
sebuah karya sastra diperkarakan di depan pengadilan. Terlebih lagi dengan
anonim pengarang yang tidak diketahui dan justru H.B. Jassin lah yang
mendapatkan vonis hukuman dipenjara selama satu
tahun.
Kasus
ini bisa jadi merupakan salah satu bentuk representasi kebebasan berekspresi
yang dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut: (1) pudarnya pengaruh politik
dalam kesenian, dan lebih khusus lagi kesusastraan, (2) penerbitan kembali
sejumlah majalah dan surat kabar yang independen dan menyediakan rubrik sastra,
memungkinkan sastrawan memiliki banyak pilihan untuk mengirimkan karyanya ke
berbagai media tanpa adanya tekanan faktor di luar sastra, (3) terbitnya
majalah Horison dan Budaya Jaya yang memberi tempat bagi
karya-karya eksperimental, (4) berdirinya Dewan Kesenian Jakarta yang didukung
sepenuhnya oleh Pemerintah DKI Jakarta yang mendorong keberanian untuk lebih
bereksperimen, dan (5) terjadinya pergeseran orientasi sastrawan yang memandang
tradisi budaya memberi kemungkinan yang lebih pas bagi para sastrawan dalam
melakukan eksplorasi estetiknya.
Majalah
Budaja Djaja merupakan majalah yang
terbit pertama kali pada 2 Juni 1968 dengan mengatasnamakan Dewan Kesenian
Jakarta yang dicampurtangani oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin yang menyatakan
betapa pentingnya kebebasan disalurkan secara kreatif. Di edisi pertama, Nono Anwar
Makarim menulis artikel Belenggu Sikap
Mental yang sengaja mengingatkan pemerintah Orde Baru untuk tidak
memanipulasi slogan “persatuan dan kesatuan”. Makarim seolah sudah
menangkap adanya kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan.
Selain kritik terhadap Orde Baru, Nono Anwar Makarim juga menyimpan harapan bahwa Budaya Jaya sebagai media kebudayaan, dapat memulai mengangkat wacana keberagaman (bhineka), dan tidak melulu keseragaman (tunggal ika). Setelah edisi tersebut, tidak ada lagi artikel dengan jenis yang serupa ditemukan di Budaya Jaya yang kemudian lebih memfokuskan pada tulisan yang membicarakan masalah kebudayaan dan kesusastraan. Dan tulisan Nono Anwar Makarim menjadi semarak kembali dan menjadi wacana publik ketika pemerintah Orde Baru tumbang oleh gerakan reformasi, Mei 1997.
Referensi:
Báez, Fernando. 2013. Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Terjemahan: Lita Soerjadinata. Jakarta: Marjin Kiri.
Darma,
Budi. 2007. Bahasa, Sastra, dan Budi
Darma. Surabaya: JP Books.
Idrus.
2000. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke
Roma. Jakarta: Balai Pustaka.
Moeljanto, D.S. & Taufiq Ismail.
1995. Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif
Lekra/PKI, dkk. (Kumpulan Dokumen
Pergolakan Sejarah). Bandung: Mizan.
Rosidi,
Ajip. 1976. Ikhtisar Sejarah Sastra
Indonesia. Bandung: Cikapundung.
Tim Nasional Penulisan Sejarah
Indonesia. 2010. Sejarah Nasional
Indonesia VI: Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.