Dalam
seminggu terakhir ini, sedang ramai diperbincangkan film Battle
of Surabaya. Film animasi buatan
anak negeri yang proyeknya telah dikerjakan sejak tahun 2012 dan baru
ditayangkan di bioskop-bioskop Indonesia secara serentak pada tanggal
20 Agustus 2015 lalu. Banyak kontroversi yang terjadi selama
peluncuran animasi lokal ini, namun pada artikel ini penulis tidak
akan memberikan review
mengenai film tersebut. Penulis hanya ingin mengenang kembali
peristiwa pasca kemerdekaan Republik Indonesia 70 tahun yang lalu
tersebut dari segi sejarah dan sisi yang lainnya. Karena seperti kata
Bung Karno, “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah.” Jadi,
marilah kita mengulik kembali apa yang terjadi berpuluh-puluh tahun
yang lalu.
Pasca
diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, tidak
serta merta membuat perang dan penjajahan di Indonesia surut dan
menghilang sama sekali. Perang masih terjadi dimana-mana, namun tentu
saja dengan semangat yang jauh berbeda dari sebelumnya. Para pejuang
bertempur untuk merampas kembali hak milik mereka karena Indonesia
sudah mengikrarkan diri sebagai negara yang merdeka. Hal itu
melahirkan semangat juang yang baru bagi para pemuda bangsa dan
harapan besar bagi rakyat Indonesia. Perang perebutan kekuasaan
sebagai dukungan terhadap proklamasi kemerdekaan terjadi di segala
penjuru negeri. Salah satunya adalah di Surabaya, yang kemudian
menjadi latar belakang cerita film Battle
of Surabaya ini.
Perebutan
kekuasaan tidak saja dilakukan dengan jalan kekerasan, namun juga
dengan cara perundingan. Di beberapa keresidenan Jawa,
pegawai-pegawai Jepang menjadi tahanan rumah. Mereka dilarang kembali
ke kantor ataupun ke gedung-gedung vital karena hal itu bisa jadi
merupakan tindakan yang menentang pemerintah RI. Selain itu, di
markas-markas tentara Jepang, arsenal Don Bosco, markas pertahanan
JaTim, pangkalan Angkatan Laut Ujung, serta pabrik-pabrik di Surabaya
terjadi perebutan senjata yang dilakukan oleh para pemuda.
Di
Yogyakarta, perebutan kekuasaan dilakukan secara serentak pada
tanggal 26 September 1945. Pemuda Yogyakarta melucuti persenjataan
Jepang dengan menyerbu tangsi Otsuka
Butai di Kota Baru. Sedangkan
pertempuran di Bandung terjadi karena usaha para pemuda merebut
Pangkalan Udara Andir dan pabrik senjata bekas Artillerie
Constructie Winkel (ACW). Di
Semarang, perebutan senjata dilakukan dengan jalan perundingan dengan
pemimpin Kido Butai pada mulanya. Namun perundingan gagal (atau lebih
tepatnya tidak memuaskan pihak pemuda) sehingga menyebabkan aksi
rampas paksa dari laskar pemuda dan memakan cukup banyak korban dari
kedua belah pihak.
Hal
di atas itu merupakan beberapa tragedi perang perebutan kekuasaan
yang terjadi di Jawa. Banyak perjuangan serupa yang terjadi juga di
segala penjuru Indonesia, namun jika penulis menceritakan semuanya di
sini, tidak akan cukup. Bahkan jika ditulis hingga setebal Kamus
Besar Bahasa Indonesia pun tidak akan menceritakan semuanya karena
kisahnya yang beribu-ribu, pelik, dan penuh tragedi.
Kembali
ke perang yang terjadi di Surabaya. Pada tanggal 19 September 1945,
hari terjadinya insiden bendera di Hotel Yamato (dikenal juga dengan
nama Hotel Oranje), orang-orang Belanda bekas tawanan Jepang
menduduki hotel dan mengibarkan bendera Belanda di puncak hotal. Hal
itu lalu membangkitkan amarah bagi rakyat Indonesia yang melihatnya.
Mungkin muncul pertanyaan, kenapa orang Belanda bisa ada di Hotel
Yamato?
Jadi
sewaktu perang Pasifik masih berlangsung, Sekutu membagi Indonesia
(yang saat itu merupakan kepulauan jajahan Jepang) menjadi dua daerah
operasi: South East Asia Command
(SEAC) dan South West Pacific Command
(SWPC). Namun setelah kekalahan Jerman (yang merupakan sekutu terkuat
Jepang) pada bulan Mei 1945, seluruh wilayah Indonesia kemudian masuk
daerah SEAC yang dibawah komando Jenderal MacArthur. Wilayah SEAC ini
meliputi Burma, Thailand, Indo-Cina, dan Semenanjung Tanah Melayu.
Nah, untuk Indonesia sendiri kemudian dibentuk komando khusus yang
disebut Allied Force Netherlands East
Indies (AFNEI) yang dikomandoi
Letnan Jenderal Sir Philips Cristison. Tugas AFNEI ini antara lain:
- Menerima penyerahan dari tangan Jepang,
- Membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu,
- Melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk dipulangkan,
- Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk diserahkan pada pemerintah sipil,
- Menghimpun keterangan tentang penjahat perang dan menuntutnya di depan pengadilan sekutu.
Berkaitan
dengan poin kedua (dikenal dengan nama Rehabilitation of Allied
Prisoners of War and Internees, RAPWI), kelompok AFNEI dengan membawa
rombongan dan tahanan sekutu dari Jakarta kemudian menggunakan Hotel
Yamato sebagai markas mereka. Nah, tahanan perang Jepang kan
orang-orang Indo-Belanda yang dulu lahir, dan tinggal di Indonesia,
tuh. So, rombongan yang dibawa sekutu dari Jakarta tentu saja
orang-orang Indo-Belanda ini. Yang mengibarkan bendera Belanda ya
orang-orang Indo-Belanda ini. Keributan yang terjadi sesudahnya tentu
sudah kita ketahui semua. Bendera dirobek, terjadi baku hantam, lalu
perang pun pecah karena faktor ini dan lainnya.
Perang
Surabaya ini pun tidak luput diperhatikan dari mata para penyair.
Tidak sedikit sastrawan Angkatan 45 yang juga menuliskan tentang
perang ini. Tapi sejauh ini, penulis baru membaca novel karya Idrus.
Yang lain punya sih, tapi belum dibaca. Masih nongki indah di rak
buku. Hehe.
Karena
baru novel karya Idrus yang penulis baca, jadi saya akan menceritakan
sedikit tentang perang Surabaya di mata Idrus.
Dalam
novelnya yang berjudul Surabaya, Idrus melihat Surabaya layaknya
Texas-nya Indonesia selama terjadinya perebutan kekuasaan. Para
pemuda seperti layaknya koboi yang menenteng revolver di pinggang
mereka. Hal ini tentu saja berhubungan dengan kejadian perebutan
senjata yang telah dilakukan pemuda terhadap markas-markas Jepang.
Surabaya digambarkan seperti layaknya film-film koboi, dan pemuda
yang diimajinasikan sebagai koboi ini berkeliaran di jalan-jalan.
Revolver di pinggang mereka menjadi nilai ukur derajat seseorang.
Keangkuhan manusia yang muncul karena mendapatkan Tuhan yang baru
yang dapat menggenggam mereka dan bukannya tidak pernah mengabulkan
doa-doa mereka untuk merdeka yang dipanjatkan selama bertahun-tahun.
Pasukan Gurkha (pasukan yang terhimpun dari orang-orang Nepal dan
India yang dibawa oleh AFNEI) digambarkan sebagai bandit-bandit yang
merampas harta serta membunuhi para koboi.
Itulah
sedikit cerita tentang perang perebutan kekuasaan di Indonesia.
Euforia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sangat terasa
dengan aura yang gelap yang terjadi di wilayah-wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Harga sebuah kemerdekaan tidaklah
sedikit, itu yang selama ini penulis ketahui jika membaca buku-buku
sejarah dan novel-novel sejarah yang dituliskan sejak zaman dulu
hingga sekarang. Entah apa yang masih tersembunyi dari cerita-cerita
itu, kita tidak pernah tahu karena kita hidup di era yang berbeda
dari mereka. Namun kita pun turut berperang. Bukan dengan Belanda,
Jepang, Sekutu, atau lainnya. Kita turut berperang dalam hal yang
lain untuk menciptakan kemerdekaan yang lain. Kemerdekaan yang
sepenuh-penuhnya merdeka. Agar kita semua bisa makan dengan kenyang
dan tidur dengan nyenyak.
Sumber
Pustaka:
Idrus. 2000. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Jakarta:
Balai Pustaka
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Ed). 2008.
Sejarah Nasional Indonesia VI Zaman Jepang dan Zaman Republik.
Jakarta: Balai Pustaka