29/08/15

Euforia Perebutan Kekuasaan 1945

Dalam seminggu terakhir ini, sedang ramai diperbincangkan film Battle of Surabaya. Film animasi buatan anak negeri yang proyeknya telah dikerjakan sejak tahun 2012 dan baru ditayangkan di bioskop-bioskop Indonesia secara serentak pada tanggal 20 Agustus 2015 lalu. Banyak kontroversi yang terjadi selama peluncuran animasi lokal ini, namun pada artikel ini penulis tidak akan memberikan review mengenai film tersebut. Penulis hanya ingin mengenang kembali peristiwa pasca kemerdekaan Republik Indonesia 70 tahun yang lalu tersebut dari segi sejarah dan sisi yang lainnya. Karena seperti kata Bung Karno, “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah.” Jadi, marilah kita mengulik kembali apa yang terjadi berpuluh-puluh tahun yang lalu.

Pasca diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, tidak serta merta membuat perang dan penjajahan di Indonesia surut dan menghilang sama sekali. Perang masih terjadi dimana-mana, namun tentu saja dengan semangat yang jauh berbeda dari sebelumnya. Para pejuang bertempur untuk merampas kembali hak milik mereka karena Indonesia sudah mengikrarkan diri sebagai negara yang merdeka. Hal itu melahirkan semangat juang yang baru bagi para pemuda bangsa dan harapan besar bagi rakyat Indonesia. Perang perebutan kekuasaan sebagai dukungan terhadap proklamasi kemerdekaan terjadi di segala penjuru negeri. Salah satunya adalah di Surabaya, yang kemudian menjadi latar belakang cerita film Battle of Surabaya ini.

Perebutan kekuasaan tidak saja dilakukan dengan jalan kekerasan, namun juga dengan cara perundingan. Di beberapa keresidenan Jawa, pegawai-pegawai Jepang menjadi tahanan rumah. Mereka dilarang kembali ke kantor ataupun ke gedung-gedung vital karena hal itu bisa jadi merupakan tindakan yang menentang pemerintah RI. Selain itu, di markas-markas tentara Jepang, arsenal Don Bosco, markas pertahanan JaTim, pangkalan Angkatan Laut Ujung, serta pabrik-pabrik di Surabaya terjadi perebutan senjata yang dilakukan oleh para pemuda.

Di Yogyakarta, perebutan kekuasaan dilakukan secara serentak pada tanggal 26 September 1945. Pemuda Yogyakarta melucuti persenjataan Jepang dengan menyerbu tangsi Otsuka Butai di Kota Baru. Sedangkan pertempuran di Bandung terjadi karena usaha para pemuda merebut Pangkalan Udara Andir dan pabrik senjata bekas Artillerie Constructie Winkel (ACW). Di Semarang, perebutan senjata dilakukan dengan jalan perundingan dengan pemimpin Kido Butai pada mulanya. Namun perundingan gagal (atau lebih tepatnya tidak memuaskan pihak pemuda) sehingga menyebabkan aksi rampas paksa dari laskar pemuda dan memakan cukup banyak korban dari kedua belah pihak.

Hal di atas itu merupakan beberapa tragedi perang perebutan kekuasaan yang terjadi di Jawa. Banyak perjuangan serupa yang terjadi juga di segala penjuru Indonesia, namun jika penulis menceritakan semuanya di sini, tidak akan cukup. Bahkan jika ditulis hingga setebal Kamus Besar Bahasa Indonesia pun tidak akan menceritakan semuanya karena kisahnya yang beribu-ribu, pelik, dan penuh tragedi.

Kembali ke perang yang terjadi di Surabaya. Pada tanggal 19 September 1945, hari terjadinya insiden bendera di Hotel Yamato (dikenal juga dengan nama Hotel Oranje), orang-orang Belanda bekas tawanan Jepang menduduki hotel dan mengibarkan bendera Belanda di puncak hotal. Hal itu lalu membangkitkan amarah bagi rakyat Indonesia yang melihatnya. Mungkin muncul pertanyaan, kenapa orang Belanda bisa ada di Hotel Yamato?

Jadi sewaktu perang Pasifik masih berlangsung, Sekutu membagi Indonesia (yang saat itu merupakan kepulauan jajahan Jepang) menjadi dua daerah operasi: South East Asia Command (SEAC) dan South West Pacific Command (SWPC). Namun setelah kekalahan Jerman (yang merupakan sekutu terkuat Jepang) pada bulan Mei 1945, seluruh wilayah Indonesia kemudian masuk daerah SEAC yang dibawah komando Jenderal MacArthur. Wilayah SEAC ini meliputi Burma, Thailand, Indo-Cina, dan Semenanjung Tanah Melayu. Nah, untuk Indonesia sendiri kemudian dibentuk komando khusus yang disebut Allied Force Netherlands East Indies (AFNEI) yang dikomandoi Letnan Jenderal Sir Philips Cristison. Tugas AFNEI ini antara lain:


  1. Menerima penyerahan dari tangan Jepang,


  1. Membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu,


  1. Melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk dipulangkan,


  1. Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk diserahkan pada pemerintah sipil,


  1. Menghimpun keterangan tentang penjahat perang dan menuntutnya di depan pengadilan sekutu.


Berkaitan dengan poin kedua (dikenal dengan nama Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees, RAPWI), kelompok AFNEI dengan membawa rombongan dan tahanan sekutu dari Jakarta kemudian menggunakan Hotel Yamato sebagai markas mereka. Nah, tahanan perang Jepang kan orang-orang Indo-Belanda yang dulu lahir, dan tinggal di Indonesia, tuh. So, rombongan yang dibawa sekutu dari Jakarta tentu saja orang-orang Indo-Belanda ini. Yang mengibarkan bendera Belanda ya orang-orang Indo-Belanda ini. Keributan yang terjadi sesudahnya tentu sudah kita ketahui semua. Bendera dirobek, terjadi baku hantam, lalu perang pun pecah karena faktor ini dan lainnya.

Perang Surabaya ini pun tidak luput diperhatikan dari mata para penyair. Tidak sedikit sastrawan Angkatan 45 yang juga menuliskan tentang perang ini. Tapi sejauh ini, penulis baru membaca novel karya Idrus. Yang lain punya sih, tapi belum dibaca. Masih nongki indah di rak buku. Hehe.

Karena baru novel karya Idrus yang penulis baca, jadi saya akan menceritakan sedikit tentang perang Surabaya di mata Idrus.

Dalam novelnya yang berjudul Surabaya, Idrus melihat Surabaya layaknya Texas-nya Indonesia selama terjadinya perebutan kekuasaan. Para pemuda seperti layaknya koboi yang menenteng revolver di pinggang mereka. Hal ini tentu saja berhubungan dengan kejadian perebutan senjata yang telah dilakukan pemuda terhadap markas-markas Jepang. Surabaya digambarkan seperti layaknya film-film koboi, dan pemuda yang diimajinasikan sebagai koboi ini berkeliaran di jalan-jalan. Revolver di pinggang mereka menjadi nilai ukur derajat seseorang. Keangkuhan manusia yang muncul karena mendapatkan Tuhan yang baru yang dapat menggenggam mereka dan bukannya tidak pernah mengabulkan doa-doa mereka untuk merdeka yang dipanjatkan selama bertahun-tahun. Pasukan Gurkha (pasukan yang terhimpun dari orang-orang Nepal dan India yang dibawa oleh AFNEI) digambarkan sebagai bandit-bandit yang merampas harta serta membunuhi para koboi.

Itulah sedikit cerita tentang perang perebutan kekuasaan di Indonesia. Euforia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sangat terasa dengan aura yang gelap yang terjadi di wilayah-wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Harga sebuah kemerdekaan tidaklah sedikit, itu yang selama ini penulis ketahui jika membaca buku-buku sejarah dan novel-novel sejarah yang dituliskan sejak zaman dulu hingga sekarang. Entah apa yang masih tersembunyi dari cerita-cerita itu, kita tidak pernah tahu karena kita hidup di era yang berbeda dari mereka. Namun kita pun turut berperang. Bukan dengan Belanda, Jepang, Sekutu, atau lainnya. Kita turut berperang dalam hal yang lain untuk menciptakan kemerdekaan yang lain. Kemerdekaan yang sepenuh-penuhnya merdeka. Agar kita semua bisa makan dengan kenyang dan tidur dengan nyenyak.




Sumber Pustaka:


Idrus. 2000. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Jakarta: Balai Pustaka


Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Ed). 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka


02/06/15

Benar-Benar Random #NulisRandom2015

Sebenarnya saya punya dua akun Facebook. Yang satu punya saya sendiri, yang satu buat iseng-iseng aja, pake nama pseudonym. Yah, fungsinya sih buat nyembunyiin identitas saya biar gak dikepoin fans-fans saya yang kadang anarkis. Haha #plak

Nah, di akun facebook anonim saya ini, saya ikutan banyak komunitas menulis. Dan ruginya, saya jarang buka akun facebook itu, sehingga saya sering ketinggalan berita kalau ada tantangan menulis yang sering dibagikan teman-teman satu komunitas. Padahal, saya orangnya termasuk orang yang mudah tertantang, jadi ngerasa sayang aja kalau tantangan-tantangan yang ada dibiarin gitu aja.

Lagi-lagi saya ketinggalan info. Baru hari Senin lalu, saya buka kembali akun facebook abal-abal saya setelah sekian bulan gak saya pedulikan. Dan ternyata, ada satu tantangan menarik banget. Namanya #NulisRandom2015, dipelopori oleh nulisbuku.com (Selengkapnya lihat nulisbuku.com). Sialnya, itu dimulainya kemarin. Tanggal 1 Juni kemarin. Pas banget saya nemu tantangan itu, pas tantangan itu dimulai.

Berhubung secara jujur sayanya juga orang malesan nulis, saya merasa tertantang, lah. Berhubung kalau soal tulis menulis, saya gak terlalu bego, dan katanya boleh cuman separagraf juga. Enaknya lagi, gak ada syarat apapun untuk ikutan tantangan ini. Ya saya ikut lah. Masa enggak?

Males nulis. Itu kan alasan klasiknya buat para penulis, alasan yang bikin mereka gak produktif, dan parahnya lagi, bersembunyi di balik kata-kata yang indah kayak "Writer Block". Wuih, udah keren kayak bule aja pake bahasa Inggris, padahal mah bahasa kampungnya ya, males.

Nah, dari tantangan #NulisRandom2015 ini, para penulis dan blogger diajak buat mengasah otak mereka biar gak malas lagi buat nyari inspirasi dan kembali menulis. Mengasah gak harus langsung jadi tajam kok, tapi sedikit demi sedikit, kan lama-lama bisa jadi bukit, eh tajam, maksudnya. Nulisbuku.com berniat ngajakin kita-kita membiasakan otak untuk melakukan rutinitas menulis. Rajin menulis bikin kita gak mudah pikun, otak dibiasakan berpikir kritis, dan mungkin aja kita bisa menjadi cerdas secara perlahan-lahan. (LOL)

Oke, saya udah yakin seratus persen buat ikutan tantangan #NulisRandom2015. Siapa tahu, setelah saya ikutan, saya jadi makin lancar jodoh, kan ya? #plak

Gimana dengan kamu?

Untuk membaca tulisan saya, bisa dilihat di sini.

17/03/15

Menghayati Perjalanan Sejarah Kehidupan Dan Kebudayaan


Hari itu cuaca seakan mendukung harapan kami. Semenjak pagi, tak ada sapaan hujan yang di hari sebelumnya selalu mengguyur kota Jogjakarta. Ya, mungkin karena harapan dan semangat kami jauh lebih menggebu daripada kemauan langit untuk menjatuhkan butiran air.
Sejak adzan Shubuh berkumandang, official para penari untuk persiapan penampilan hari Sabtu, 7 Maret 2015 sudah berkoar-koar untuk membangunkan para penari demi memenuhi janji mereka agar berhadir di FIB UGM pada jam yang telah ditentukan. Tindakan itu—membangunkan para penari—sangat diperlukan mengingat kebanyakan di antara mereka sangat sulit untuk bangun pagi.
Mereka mulai latihan untuk mengisi acara di Seminar Nasional Anti Korupsi sejak tanggal 28 Februari 2015. Semula penari yang berkemauan untuk turut memberikan penampilan tersebut berjumlah 13 orang sebelum pada akhirnya Dhani mengundurkan diri karena kesibukannya di kampus. Jadilah, 12 orang lelaki yang berasal dari tiga universitas berbeda-beda itu memasukkan jadwal latihan Rapai dalam jadwal harian mereka selama satu minggu.
Latihan selalu dimulai pada jam 16.00, namun sayangnya kebiasaan terlambat masih tetap menggelayuti pundak mereka, sehingga tak jarang official mereka misuh-misuh sembari menunggu kedatangan para penari. Hal ini seakan menjadi ritual tak tertulis yang selalu dilakukan oleh para penari Rampoe setiap kali ada agenda latihan.
Namun, hasil tidak pernah mengkhianati prosesnya. Dengan suksesnya penampilan Rapai dalam acara seminar nasional Pemuda Anti Korupsi, Sabtu, 7 Maret 2015 lalu, semakin meningkatkan kepercayaan diri para penari lelaki angkatan 5 Rampoe UGM untuk bisa kembali tampil di kesempatan berikutnya. Penampilan itu tak hanya ditonton oleh kalangan mahasiswa yang menghadiri seminar nasional tersebut, namun juga dilihat oleh perwakilan KEMENPORA, perwakilan KPK, hingga perwakilan dari universitas-universitas yang ada di Indonesia.
Meskipun pada malam sebelumnya banyak terjadi perubahan pada gerakan tarian yang akan ditampilkan, hal itu tidak membuat para penari patah semangat. Penampilan yang dibawakan oleh 12 orang penari dan 1 orang syahi ini mendapatkan tepuk tangan meriah dari para penonton. Ada 9 gerakan yang mereka tampilkan dalam waktu 15 menit di atas panggung. Meskipun pada akhirnya mereka tidak jadi menampilkan formasi bunga yang menjadi formasi andalan pada salah satu gerakan tarian, penampilan mereka tetap mampu memuaskan, memukau, dan menghibur para penonton.
Add caption
Luar biasa sekali saya dapat berkesempatan untuk tampil Rapai Geleng bersama kawan Rampoe UGM di ION’s. Apresiasi peonton yang meriah menunjukkan bahwasanya mereka terhibur. Itu semua tak lepas dari totalitas dan rasa semangat kita saat latihan,” komentar Ridwan, salah satu penari Rapai saat ditanya bagaimana kesannya saat turut tampil pada acara tersebut. Meskipun dia mengakui dia melakukan beberapa kesalahan saat penampilan, dia tetap memberikan senyuman, seperti apa yang dikatakan oleh salah satu seniornya di Rampoe UGM, bahwa “menarilah untuk membuat orang bahagia, karena itu, tersenyumlah saat menari”.
Penari Rapai Geleng yang turut tampil di ballroom ION’s itu terdiri dari 8 orang dari angkatan 5 dan 4 orang dari angkatan 4. Penampilan ini merupakan penampilan Rapai keempat kalinya bagi angkatan 5. Meskipun masih terbilang memiliki pengalaman yang sedikit, itu tidak membuat mereka pesimis untuk tampil bersama angkatan 4 yang memiliki pengalaman jauh lebih banyak dari mereka. Justru mereka belajar banyak dari senior mereka yang turut merapat di dalam barisan mereka dan selalu menyertai mereka dalam satu minggu latihan mereka.
Tidak ada sesuatu yang paling istimewa selain duduk rapat sambil menghayati perjalanan sejarah kehidupan dan kebudayaan. Itulah yang aku maknai dengan indahnya kebersamaan,” ujar Nazar saat ditanya mengenai kesannya selama latihan dan penampilan di Seminar Nasional Pemuda Anti Korupsi. Tambahnya, “Apalagi ditambah dengan temanya—tema seminar—yang begitu menggugah, Pemuda Anti Korupsi.”
Mahasiswa tahun kedua jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di UIN Kalijaga itu berharap bahwa semoga para generasi muda untuk selalu mencintai dan melestarikan budayanya, dan bukan justru tetap melestarikan budaya yang jelek seperti korupsi.