29/08/15
Euforia Perebutan Kekuasaan 1945
Dalam
seminggu terakhir ini, sedang ramai diperbincangkan film Battle
of Surabaya. Film animasi buatan
anak negeri yang proyeknya telah dikerjakan sejak tahun 2012 dan baru
ditayangkan di bioskop-bioskop Indonesia secara serentak pada tanggal
20 Agustus 2015 lalu. Banyak kontroversi yang terjadi selama
peluncuran animasi lokal ini, namun pada artikel ini penulis tidak
akan memberikan review
mengenai film tersebut. Penulis hanya ingin mengenang kembali
peristiwa pasca kemerdekaan Republik Indonesia 70 tahun yang lalu
tersebut dari segi sejarah dan sisi yang lainnya. Karena seperti kata
Bung Karno, “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah.” Jadi,
marilah kita mengulik kembali apa yang terjadi berpuluh-puluh tahun
yang lalu.
Pasca
diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, tidak
serta merta membuat perang dan penjajahan di Indonesia surut dan
menghilang sama sekali. Perang masih terjadi dimana-mana, namun tentu
saja dengan semangat yang jauh berbeda dari sebelumnya. Para pejuang
bertempur untuk merampas kembali hak milik mereka karena Indonesia
sudah mengikrarkan diri sebagai negara yang merdeka. Hal itu
melahirkan semangat juang yang baru bagi para pemuda bangsa dan
harapan besar bagi rakyat Indonesia. Perang perebutan kekuasaan
sebagai dukungan terhadap proklamasi kemerdekaan terjadi di segala
penjuru negeri. Salah satunya adalah di Surabaya, yang kemudian
menjadi latar belakang cerita film Battle
of Surabaya ini.
Perebutan
kekuasaan tidak saja dilakukan dengan jalan kekerasan, namun juga
dengan cara perundingan. Di beberapa keresidenan Jawa,
pegawai-pegawai Jepang menjadi tahanan rumah. Mereka dilarang kembali
ke kantor ataupun ke gedung-gedung vital karena hal itu bisa jadi
merupakan tindakan yang menentang pemerintah RI. Selain itu, di
markas-markas tentara Jepang, arsenal Don Bosco, markas pertahanan
JaTim, pangkalan Angkatan Laut Ujung, serta pabrik-pabrik di Surabaya
terjadi perebutan senjata yang dilakukan oleh para pemuda.
Di
Yogyakarta, perebutan kekuasaan dilakukan secara serentak pada
tanggal 26 September 1945. Pemuda Yogyakarta melucuti persenjataan
Jepang dengan menyerbu tangsi Otsuka
Butai di Kota Baru. Sedangkan
pertempuran di Bandung terjadi karena usaha para pemuda merebut
Pangkalan Udara Andir dan pabrik senjata bekas Artillerie
Constructie Winkel (ACW). Di
Semarang, perebutan senjata dilakukan dengan jalan perundingan dengan
pemimpin Kido Butai pada mulanya. Namun perundingan gagal (atau lebih
tepatnya tidak memuaskan pihak pemuda) sehingga menyebabkan aksi
rampas paksa dari laskar pemuda dan memakan cukup banyak korban dari
kedua belah pihak.
Hal
di atas itu merupakan beberapa tragedi perang perebutan kekuasaan
yang terjadi di Jawa. Banyak perjuangan serupa yang terjadi juga di
segala penjuru Indonesia, namun jika penulis menceritakan semuanya di
sini, tidak akan cukup. Bahkan jika ditulis hingga setebal Kamus
Besar Bahasa Indonesia pun tidak akan menceritakan semuanya karena
kisahnya yang beribu-ribu, pelik, dan penuh tragedi.
Kembali
ke perang yang terjadi di Surabaya. Pada tanggal 19 September 1945,
hari terjadinya insiden bendera di Hotel Yamato (dikenal juga dengan
nama Hotel Oranje), orang-orang Belanda bekas tawanan Jepang
menduduki hotel dan mengibarkan bendera Belanda di puncak hotal. Hal
itu lalu membangkitkan amarah bagi rakyat Indonesia yang melihatnya.
Mungkin muncul pertanyaan, kenapa orang Belanda bisa ada di Hotel
Yamato?
Jadi
sewaktu perang Pasifik masih berlangsung, Sekutu membagi Indonesia
(yang saat itu merupakan kepulauan jajahan Jepang) menjadi dua daerah
operasi: South East Asia Command
(SEAC) dan South West Pacific Command
(SWPC). Namun setelah kekalahan Jerman (yang merupakan sekutu terkuat
Jepang) pada bulan Mei 1945, seluruh wilayah Indonesia kemudian masuk
daerah SEAC yang dibawah komando Jenderal MacArthur. Wilayah SEAC ini
meliputi Burma, Thailand, Indo-Cina, dan Semenanjung Tanah Melayu.
Nah, untuk Indonesia sendiri kemudian dibentuk komando khusus yang
disebut Allied Force Netherlands East
Indies (AFNEI) yang dikomandoi
Letnan Jenderal Sir Philips Cristison. Tugas AFNEI ini antara lain:
- Menerima penyerahan dari tangan Jepang,
- Membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu,
- Melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk dipulangkan,
- Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk diserahkan pada pemerintah sipil,
- Menghimpun keterangan tentang penjahat perang dan menuntutnya di depan pengadilan sekutu.
Berkaitan
dengan poin kedua (dikenal dengan nama Rehabilitation of Allied
Prisoners of War and Internees, RAPWI), kelompok AFNEI dengan membawa
rombongan dan tahanan sekutu dari Jakarta kemudian menggunakan Hotel
Yamato sebagai markas mereka. Nah, tahanan perang Jepang kan
orang-orang Indo-Belanda yang dulu lahir, dan tinggal di Indonesia,
tuh. So, rombongan yang dibawa sekutu dari Jakarta tentu saja
orang-orang Indo-Belanda ini. Yang mengibarkan bendera Belanda ya
orang-orang Indo-Belanda ini. Keributan yang terjadi sesudahnya tentu
sudah kita ketahui semua. Bendera dirobek, terjadi baku hantam, lalu
perang pun pecah karena faktor ini dan lainnya.
Perang
Surabaya ini pun tidak luput diperhatikan dari mata para penyair.
Tidak sedikit sastrawan Angkatan 45 yang juga menuliskan tentang
perang ini. Tapi sejauh ini, penulis baru membaca novel karya Idrus.
Yang lain punya sih, tapi belum dibaca. Masih nongki indah di rak
buku. Hehe.
Karena
baru novel karya Idrus yang penulis baca, jadi saya akan menceritakan
sedikit tentang perang Surabaya di mata Idrus.
Dalam
novelnya yang berjudul Surabaya, Idrus melihat Surabaya layaknya
Texas-nya Indonesia selama terjadinya perebutan kekuasaan. Para
pemuda seperti layaknya koboi yang menenteng revolver di pinggang
mereka. Hal ini tentu saja berhubungan dengan kejadian perebutan
senjata yang telah dilakukan pemuda terhadap markas-markas Jepang.
Surabaya digambarkan seperti layaknya film-film koboi, dan pemuda
yang diimajinasikan sebagai koboi ini berkeliaran di jalan-jalan.
Revolver di pinggang mereka menjadi nilai ukur derajat seseorang.
Keangkuhan manusia yang muncul karena mendapatkan Tuhan yang baru
yang dapat menggenggam mereka dan bukannya tidak pernah mengabulkan
doa-doa mereka untuk merdeka yang dipanjatkan selama bertahun-tahun.
Pasukan Gurkha (pasukan yang terhimpun dari orang-orang Nepal dan
India yang dibawa oleh AFNEI) digambarkan sebagai bandit-bandit yang
merampas harta serta membunuhi para koboi.
Itulah
sedikit cerita tentang perang perebutan kekuasaan di Indonesia.
Euforia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sangat terasa
dengan aura yang gelap yang terjadi di wilayah-wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Harga sebuah kemerdekaan tidaklah
sedikit, itu yang selama ini penulis ketahui jika membaca buku-buku
sejarah dan novel-novel sejarah yang dituliskan sejak zaman dulu
hingga sekarang. Entah apa yang masih tersembunyi dari cerita-cerita
itu, kita tidak pernah tahu karena kita hidup di era yang berbeda
dari mereka. Namun kita pun turut berperang. Bukan dengan Belanda,
Jepang, Sekutu, atau lainnya. Kita turut berperang dalam hal yang
lain untuk menciptakan kemerdekaan yang lain. Kemerdekaan yang
sepenuh-penuhnya merdeka. Agar kita semua bisa makan dengan kenyang
dan tidur dengan nyenyak.
Sumber
Pustaka:
Idrus. 2000. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Jakarta:
Balai Pustaka
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Ed). 2008.
Sejarah Nasional Indonesia VI Zaman Jepang dan Zaman Republik.
Jakarta: Balai Pustaka
02/06/15
Benar-Benar Random #NulisRandom2015
Sebenarnya saya punya dua akun Facebook. Yang satu punya saya sendiri, yang satu buat iseng-iseng aja, pake nama pseudonym. Yah, fungsinya sih buat nyembunyiin identitas saya biar gak dikepoin fans-fans saya yang kadang anarkis. Haha #plak
Nah, di akun facebook anonim saya ini, saya ikutan banyak komunitas menulis. Dan ruginya, saya jarang buka akun facebook itu, sehingga saya sering ketinggalan berita kalau ada tantangan menulis yang sering dibagikan teman-teman satu komunitas. Padahal, saya orangnya termasuk orang yang mudah tertantang, jadi ngerasa sayang aja kalau tantangan-tantangan yang ada dibiarin gitu aja.
Lagi-lagi saya ketinggalan info. Baru hari Senin lalu, saya buka kembali akun facebook abal-abal saya setelah sekian bulan gak saya pedulikan. Dan ternyata, ada satu tantangan menarik banget. Namanya #NulisRandom2015, dipelopori oleh nulisbuku.com (Selengkapnya lihat nulisbuku.com). Sialnya, itu dimulainya kemarin. Tanggal 1 Juni kemarin. Pas banget saya nemu tantangan itu, pas tantangan itu dimulai.
Berhubung secara jujur sayanya juga orang malesan nulis, saya merasa tertantang, lah. Berhubung kalau soal tulis menulis, saya gak terlalu bego, dan katanya boleh cuman separagraf juga. Enaknya lagi, gak ada syarat apapun untuk ikutan tantangan ini. Ya saya ikut lah. Masa enggak?
Males nulis. Itu kan alasan klasiknya buat para penulis, alasan yang bikin mereka gak produktif, dan parahnya lagi, bersembunyi di balik kata-kata yang indah kayak "Writer Block". Wuih, udah keren kayak bule aja pake bahasa Inggris, padahal mah bahasa kampungnya ya, males.
Nah, dari tantangan #NulisRandom2015 ini, para penulis dan blogger diajak buat mengasah otak mereka biar gak malas lagi buat nyari inspirasi dan kembali menulis. Mengasah gak harus langsung jadi tajam kok, tapi sedikit demi sedikit, kan lama-lama bisa jadi bukit, eh tajam, maksudnya. Nulisbuku.com berniat ngajakin kita-kita membiasakan otak untuk melakukan rutinitas menulis. Rajin menulis bikin kita gak mudah pikun, otak dibiasakan berpikir kritis, dan mungkin aja kita bisa menjadi cerdas secara perlahan-lahan. (LOL)
Oke, saya udah yakin seratus persen buat ikutan tantangan #NulisRandom2015. Siapa tahu, setelah saya ikutan, saya jadi makin lancar jodoh, kan ya? #plak
Gimana dengan kamu?
Untuk membaca tulisan saya, bisa dilihat di sini.
Nah, di akun facebook anonim saya ini, saya ikutan banyak komunitas menulis. Dan ruginya, saya jarang buka akun facebook itu, sehingga saya sering ketinggalan berita kalau ada tantangan menulis yang sering dibagikan teman-teman satu komunitas. Padahal, saya orangnya termasuk orang yang mudah tertantang, jadi ngerasa sayang aja kalau tantangan-tantangan yang ada dibiarin gitu aja.
Lagi-lagi saya ketinggalan info. Baru hari Senin lalu, saya buka kembali akun facebook abal-abal saya setelah sekian bulan gak saya pedulikan. Dan ternyata, ada satu tantangan menarik banget. Namanya #NulisRandom2015, dipelopori oleh nulisbuku.com (Selengkapnya lihat nulisbuku.com). Sialnya, itu dimulainya kemarin. Tanggal 1 Juni kemarin. Pas banget saya nemu tantangan itu, pas tantangan itu dimulai.
Berhubung secara jujur sayanya juga orang malesan nulis, saya merasa tertantang, lah. Berhubung kalau soal tulis menulis, saya gak terlalu bego, dan katanya boleh cuman separagraf juga. Enaknya lagi, gak ada syarat apapun untuk ikutan tantangan ini. Ya saya ikut lah. Masa enggak?
Males nulis. Itu kan alasan klasiknya buat para penulis, alasan yang bikin mereka gak produktif, dan parahnya lagi, bersembunyi di balik kata-kata yang indah kayak "Writer Block". Wuih, udah keren kayak bule aja pake bahasa Inggris, padahal mah bahasa kampungnya ya, males.
Nah, dari tantangan #NulisRandom2015 ini, para penulis dan blogger diajak buat mengasah otak mereka biar gak malas lagi buat nyari inspirasi dan kembali menulis. Mengasah gak harus langsung jadi tajam kok, tapi sedikit demi sedikit, kan lama-lama bisa jadi bukit, eh tajam, maksudnya. Nulisbuku.com berniat ngajakin kita-kita membiasakan otak untuk melakukan rutinitas menulis. Rajin menulis bikin kita gak mudah pikun, otak dibiasakan berpikir kritis, dan mungkin aja kita bisa menjadi cerdas secara perlahan-lahan. (LOL)
Oke, saya udah yakin seratus persen buat ikutan tantangan #NulisRandom2015. Siapa tahu, setelah saya ikutan, saya jadi makin lancar jodoh, kan ya? #plak
Gimana dengan kamu?
Untuk membaca tulisan saya, bisa dilihat di sini.
17/03/15
Menghayati Perjalanan Sejarah Kehidupan Dan Kebudayaan
Hari
itu cuaca seakan mendukung harapan kami. Semenjak pagi, tak ada
sapaan hujan yang di hari sebelumnya selalu mengguyur kota
Jogjakarta. Ya, mungkin karena harapan dan semangat kami jauh lebih
menggebu daripada kemauan langit untuk menjatuhkan butiran air.
Sejak
adzan Shubuh berkumandang, official
para penari untuk persiapan penampilan hari Sabtu, 7 Maret 2015 sudah
berkoar-koar untuk membangunkan para penari demi memenuhi janji
mereka agar berhadir di FIB UGM pada jam yang telah ditentukan.
Tindakan itu—membangunkan para penari—sangat diperlukan mengingat
kebanyakan di antara mereka sangat sulit untuk bangun pagi.
Mereka
mulai latihan untuk mengisi acara di Seminar Nasional Anti Korupsi
sejak tanggal 28 Februari 2015. Semula penari yang berkemauan untuk
turut memberikan penampilan tersebut berjumlah 13 orang sebelum pada
akhirnya Dhani mengundurkan diri karena kesibukannya di kampus.
Jadilah, 12 orang lelaki yang berasal dari tiga universitas
berbeda-beda itu memasukkan jadwal latihan Rapai dalam jadwal harian
mereka selama satu minggu.
Latihan
selalu dimulai pada jam 16.00, namun sayangnya kebiasaan terlambat
masih tetap menggelayuti pundak mereka, sehingga tak jarang official
mereka misuh-misuh
sembari menunggu kedatangan para penari. Hal ini seakan menjadi
ritual
tak tertulis yang selalu dilakukan oleh para penari Rampoe setiap
kali ada agenda latihan.
Namun,
hasil tidak pernah mengkhianati prosesnya. Dengan suksesnya
penampilan Rapai dalam acara seminar nasional Pemuda Anti Korupsi,
Sabtu, 7 Maret 2015 lalu, semakin meningkatkan kepercayaan diri para
penari lelaki angkatan 5 Rampoe UGM untuk bisa kembali tampil di
kesempatan berikutnya. Penampilan itu tak hanya ditonton oleh
kalangan mahasiswa yang menghadiri seminar nasional tersebut, namun
juga dilihat oleh perwakilan KEMENPORA, perwakilan KPK, hingga
perwakilan dari universitas-universitas yang ada di Indonesia.
Meskipun
pada malam sebelumnya banyak terjadi perubahan pada gerakan tarian
yang akan ditampilkan, hal itu tidak membuat para penari patah
semangat. Penampilan yang dibawakan oleh 12 orang penari dan 1 orang
syahi ini mendapatkan tepuk tangan meriah dari para penonton. Ada 9
gerakan yang mereka tampilkan dalam waktu 15 menit di atas panggung.
Meskipun pada akhirnya mereka tidak jadi menampilkan formasi bunga
yang menjadi formasi andalan pada salah satu gerakan tarian,
penampilan mereka tetap mampu memuaskan, memukau, dan menghibur para
penonton.
![]() |
Add caption |
“Luar
biasa sekali saya dapat berkesempatan untuk tampil Rapai Geleng
bersama kawan Rampoe UGM di ION’s. Apresiasi peonton yang meriah
menunjukkan bahwasanya mereka terhibur. Itu semua tak lepas dari
totalitas dan rasa semangat kita saat latihan,” komentar Ridwan,
salah satu penari Rapai saat ditanya bagaimana kesannya saat turut
tampil pada acara tersebut. Meskipun dia mengakui dia melakukan
beberapa kesalahan saat penampilan, dia tetap memberikan senyuman,
seperti apa yang dikatakan oleh salah satu seniornya di Rampoe UGM,
bahwa “menarilah untuk membuat orang bahagia, karena itu,
tersenyumlah saat menari”.
Penari
Rapai Geleng yang turut tampil di ballroom ION’s itu terdiri dari 8
orang dari angkatan 5 dan 4 orang dari angkatan 4. Penampilan ini
merupakan penampilan Rapai keempat kalinya bagi angkatan 5. Meskipun
masih terbilang memiliki pengalaman yang sedikit, itu tidak membuat
mereka pesimis untuk tampil bersama angkatan 4 yang memiliki
pengalaman jauh lebih banyak dari mereka. Justru mereka belajar
banyak dari senior mereka yang turut merapat di dalam barisan mereka
dan selalu menyertai mereka dalam satu minggu latihan mereka.
“Tidak
ada sesuatu yang paling istimewa selain duduk rapat sambil menghayati
perjalanan sejarah kehidupan dan kebudayaan. Itulah yang aku maknai
dengan indahnya kebersamaan,” ujar Nazar saat ditanya mengenai
kesannya selama latihan dan penampilan di Seminar Nasional Pemuda
Anti Korupsi. Tambahnya, “Apalagi ditambah dengan temanya—tema
seminar—yang begitu menggugah, Pemuda Anti Korupsi.”
Mahasiswa
tahun kedua jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di UIN Kalijaga itu
berharap bahwa semoga para generasi muda untuk selalu mencintai dan
melestarikan budayanya, dan bukan justru tetap melestarikan budaya
yang jelek seperti korupsi.
15/09/14
Ironi Si Negara Kaya: Cerita Rakyat Yang Dilupakan
Indonesia
merupakan negara yang kaya dalam berbagai macam hal. Tidak hanya kaya
akan hasil alamnya, Indonesia juga kaya adat, suku, bahasa, bahkan
budaya yang berupa cerita rakyat. Cerita rakyat bukan menjadi barang
yang baru lagi di dunia kesusastraan Indonesia sebab telah ada sejak
beribu-ribu tahun lamanya. Cerita rakyat, yang dulunya disebarkan
dari mulut ke mulut, jauh lebih dulu ada sebelum aksara dikenal luas
dan dipelajari oleh berbagai golongan. Hampir semua daerah dan suku
di Indonesia memiliki cerita yang memiliki kekhasan yang berbeda-beda
mengenai rakyat di suatu wilayah. Hal itu semakin memperkaya khazanah
cerita yang hidup di tengah-tengah masyarakat tersebut.
Sama
halnya seperti bahasa Indonesia, cerita-cerita rakyat ini pun
merupakan salah satu identitas bangsa, karena secara umum cerita
rakyat diangkat dari kehidupan rakyat di Indonesia yang berkaitan
erat dengan budaya luhur bangsa Indonesia. Keberadaan cerita rakyat
merupakan suatu hal yang menjadi bukti peradaban budaya di Indonesia.
Cerita rakyat menjadi suatu kekayaan terpendam dalam suatu komunitas
yang terbatas karena hanya diketahui oleh penghuni wilayah atau
pengguna bahasa tertentu saja namun keberagamannya menjadi ciri khas
tersendiri bagi dunia cerita rakyat di Indonesia jika dibandingkan
dengan cerita-cerita rakyat dari negara lain.
Tetapi,
ratusan bahkan ribuan cerita rakyat yang selalu didongengkan secara
turun temurun itu kini semakin dilupakan karena posisinya yang
digeserkan oleh film dan dongeng dari Barat atau negara-negara maju
lain yang memasok karya fiksi ke Indonesia. Sangat jarang menemukan
anak-anak yang sangat antusias pada cerita rakyat, bahkan tidak
sedikit anak-anak SD yang tidak mengetahui cerita-cerita rakyat yang
ada. Hal itu semakin diperparah oleh kemajuan teknologi yang
memperkenalkan TV, komputer, game, dan berbagai jenis barang-barang
modern lain kepada anak-anak. Cerita-cerita rakyat digusur oleh
sinetron, film, komik, dan novel yang belum tentu memuat dan sesuai
dengan budaya Indonesia. Dongeng yang anak-anak tahu hanyalah
dongeng-dongeng dari Barat seperti Putri Salju, Cinderella, atau
Putri Tidur, tanpa mereka tahu bahwa di daerah mereka sendiri
memiliki keberagaman cerita rakyat yang kaya akan moral dan kearifan
budaya lokal.
Berkurangnya
budaya mendongeng yang biasa dilakukan oleh seorang Ibu kepada
anaknya atau oleh Tukang Cerita yang menuturkan cerita kepada suatu
penduduk atau kelompok membuat kekhawatiran akan semakin
terlupakannya cerita rakyat asli Indonesia. Sebenarnya, efek negatif
dari globalisasi yang masuk ke negeri ini harus bisa ditangkal dengan
penuh kepercayaan diri dan tanpa rasa takut akan kehilangan identitas
budaya yang menjadi kebanggaan bangsa.
19/06/14
Sastra Politik Dalam Tragedi 1965 Dan Setelahnya
Pembakaran
dan pelarangan buku adalah salah satu jenis alternatif yang merupakan tindakan
nyata atas kebencian terhadap buku. Kebencian terhadap buku terkadang mengambil
langkah-langkah yang cukup ekstrem, yang tidak hanya sekedar melakukan pembakaran
terhadap buku-buku namun juga penghancuran terhadap manusia pemiliknya atau
pengarang buku tersebut.
Kemunculan Manifes Kebudayaan (Manikebu) dan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) yang menekankan kebebasan individu untuk berkarya secara kreatif dalam konsepsi humanisme universal hidup di masyarakat liberal menentang semboyan PKI yang saat itu mencapai puncak kejayaan di era Orde Lama. Semboyan PKI tersebut, “politik adalah panglima” membuat seluruh kehidupan masyarakat berada di bawah dominasi politik PKI, dan seluruh gerakan revolusioner dan berbau liberal dilarang. Sehingga, kemunculan Manikebu dan KKPI seolah menjadi juru selamat bagi banyak budayawan, seniman, dan para pengarang Indonesia di era tersebut.
Persoalan
humanisme universal ini menjadi
sebuah permasalahan yang rumit dalam kelahiran Manikebu. Dalam diskusi
tanya-jawab dan tukar pikiran, diajukan sejumlah pertanyaan yang berhubungan
dengan toleransi ideologi, angkatan ’45 dalam kesusastraan Indonesia, dan lain
sebagainya.
Selain kritik terhadap Orde Baru, Nono Anwar Makarim juga menyimpan harapan bahwa Budaya Jaya sebagai media kebudayaan, dapat memulai mengangkat wacana keberagaman (bhineka), dan tidak melulu keseragaman (tunggal ika). Setelah edisi tersebut, tidak ada lagi artikel dengan jenis yang serupa ditemukan di Budaya Jaya yang kemudian lebih memfokuskan pada tulisan yang membicarakan masalah kebudayaan dan kesusastraan. Dan tulisan Nono Anwar Makarim menjadi semarak kembali dan menjadi wacana publik ketika pemerintah Orde Baru tumbang oleh gerakan reformasi, Mei 1997.
Referensi:
Báez, Fernando. 2013. Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Terjemahan: Lita Soerjadinata. Jakarta: Marjin Kiri.
Penjarahan
yang seringkali diakhiri dengan pembakaran telah dilakukan sejak lama, bahkan
sudah terjadi sejak jaman Sumeria kuno (4100-3300 SM). Di Indonesia
sendiri, bentuk-bentuk penghancuran terhadap buku sudah terjadi sejak jaman
penjajahan dimana terdapat pelarangan terhadap buku-buku yang diindikasikan
sebagai bacaan liar oleh pemerintah kolonial. Bacaan liar yang menggunakan
bahasa Melayu-rendah tersebut merupakan terbitan dari penerbit-penerbit swasta
yang dianggap memiliki pandangan berbeda dari Pemerintah Hindia Belanda dan
dikhawatirkan mampu merusak moral bangsa. Hal inilah yang kemudian menjadi
latar belakang pemerintah kolonial untuk mendirikan suatu taman bacaan resmi
yang kemudian terkenal dengan nama Balai Pustaka.
Selain
itu, banyak juga terjadi penangkapan sejumlah aktivis pergerakan karena
tulisan-tulisan mereka yang menyerang pemerintah kolonial. Era kemerdekaaan,
dimasa Demokrasi Terpimpin terjadi pula praktik pelarangan buku terhadap Hoa Kiau di Indonesia karya Pramoedya
Ananta Toer dan Demokrasi Kita karya
Mohammad Hatta. Begitu pula dengan hampir semua karya Sutan Takdir, Idrus, dan
Mochtar Lubis.
Kemunculan Manifes Kebudayaan (Manikebu) dan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) yang menekankan kebebasan individu untuk berkarya secara kreatif dalam konsepsi humanisme universal hidup di masyarakat liberal menentang semboyan PKI yang saat itu mencapai puncak kejayaan di era Orde Lama. Semboyan PKI tersebut, “politik adalah panglima” membuat seluruh kehidupan masyarakat berada di bawah dominasi politik PKI, dan seluruh gerakan revolusioner dan berbau liberal dilarang. Sehingga, kemunculan Manikebu dan KKPI seolah menjadi juru selamat bagi banyak budayawan, seniman, dan para pengarang Indonesia di era tersebut.
Di
masa Orde Baru, pelarangan buku mengambil bentuk yang sistematis akibat
tersedianya argumen ideologis dan keperluan mempertahankan sebuah versi
‘kebenaran’ politis. Orde Baru dan kekuasaan Soeharto berdiri di atas sebuah
misteri tragedi pembunuhan massal terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota
dan simpatisan PKI. Kenyataan ini menjadi landasan bagi kebijakan pelarangan
terhadap hampir seluruh buku-buku dari mereka yang diasosiasikan kiri.
Setelah
kepemimpinan Soeharto jatuh, Indonesia memasuki fase kebebasan, termasuk
diantaranya kebebasan dalam dunia penulisan dan penerbitan. Bisa ditemukan
dengan bebas buku-buku yang dulunya masuk ke dalam indeks buku-buku terlarang
di toko-toko buku, meskipun suasana kebebasan itu tidak bertahan lama.
Buku
dan karya sastra yang dihancurkan dan dilarang bukan karena semata-mata
fungsinya di dalam masyarakat, namun juga dianggap musuh karena mengandung
gagasan humanisme pengarangnya. Buku dan karya sastra memiliki semacam
cita-cita atau fantasi mengenai suatu jenis masyarakat masa depan oleh
pengarangnya.
Karya
sastra tidak hanya mengangkat permasalahan kehidupan atau kondisi sosial.
Sering didapati karya sastra yang memuat pula kondisi politik yang merupakan
sebuah cita-cita pengarangnya yang menuliskan realita dalam fiksi yang bertolak
belakang dengan realita yang terjadi di dalam masyarakat. Hal itu dapat
terjadi, karena itulah cita-cita pengarang yang mengharapkan sebuah realita
yang lebih baik.
Dalam
dunia sastra Indonesia, terjadi pula peristiwa politik yang sangat kentara
sekali terlihat dari dua hal: (1) pengelompokan angkatan, dan (2) novel-novel
perang. Peran politik tersebut nampak pula hingga Angkatan ’66, dimana saat itu
di Indonesia terjadi perang politik dengan menjunjung gerakan revolusioner.
Sebelum
1965
Pada
17 Agustus 1959, amanat Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang diberi
judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” dan dikenal sebagai “Manifesto Politik
Republik Indonesia” membuat kelahiran teori “Politik adalah panglima”. Semboyan
tersebut kemudian membuat dominasi politik di kehidupan masyarakat, baik itu di
kampus, rapat-rapat mahasiswa, demonstrasi-demonstrasi ‘revolusioner’, dan
lain-lain. Politik juga memasuki dunia kebudayaan dan seniman. Pemaksaan
doktrin komunis realisme sosialis
menjadi tindakan represif yang terjadi di Indonesia dan bertentangan dengan
konsepsi humanisme universal yang
menjadi pandangan masyarakat liberal di Eropa Barat, yang lebih menekankan
kepada kebebasan individu untuk berkarya secara kreatif. Hal-hal tersebut di
atas melatarbelakangi kemunculan Manifesto
Kebudayaan (Manikebu) dan Konferensi
Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) pada tahun 1963.
Di
dalam Prahara Budaya, D.S. Moeljanto
menjelaskan bahwa humanisme universal
sendiri ada karena infiltrasi kalangan Belanda yang memalingkan sastrawan dan
seniman dari perjuangan revolusi. Idrus, di dalam cerita pendeknya yang
berjudul “Surabaya” menjelek-jelekkan revolusi yang terjadi di Indonesia masa
itu yang juga merupakan salah satu bagian dari pencelaannya terhadap Manifesto
Politik. Pemerintah memaksa rakyatnya yang masih mencurigai kemunculan sekutu
untuk berpikiran positif terhadap kedatangan tentara Belanda yang hanya
memiliki tujuan mengambil tawanan perang.
Teriakan-teriakan
membelah udara, tapi pemimpin-pemimpin Indonesia membelah dua jantung rakyat.
Mereka ini dengan sekuat tenaga memberikan penerangan kepada rakyat, sekutu
tidak akan berlaku seperti di Jakarta. Sekutu hanya akan mengambil
tawanan-tawanan perang dan orang-orang Jepang. Jantung rakyat yang sebelah
percaya kepada kata-kata pemimpin, tapi jantungnya yang sebelah lagi tetap
mencurigai sekutu.
(Idrus,
2000: 121)
Dalam
majalah yang sama, Wiratmo Soekito menyatakan bahwa kesusastraan adalah yang
memimpin suatu bangsa, namun berbeda dengan pimpinan politik. Wiratmo
mengatakan kesusastraan tahu bagaimana mengatasi antimoni-antimoni yang timbul
dari aspirasi-aspirasi nasional. Ini berarti, kesusastraan bagi Wiratmo mampu
mendukung aspirasi-aspirasi nasional yang memiliki pendirian dan berdasarkan
pada asas Pancasila yang telah dirumuskan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945.
Wiratmo
memandang Soekarno bukan hanya sebagai seorang politisi, karena ia menilai buku
Bung Karno yang berjudul “Di Bawah
Bendera Revolusi” memiliki nilai yang jauh lebih tinggi sebagai suatu
bentuk kesusastraan karena mengandung nilai-nilai aspirasi nasional. Buku
tersebut merupakan sebuah tulisan Bung Karno mengenai latar belakang sejarah
pidatonya yang menjadi awal mula kelahiran Pancasila.
Kembali
kepada konsep humanisme universal, Wiratmo
menyebut-nyebut kata budi nurani universal di artikel yang sama yang dia ambil
dari sebuah kisah Sokrates dan Marx. Di dalam bukunya, Marx berpendapat bahwa humanisme universal merupakan hakikat
yang sebenarnya dari kemanusiaan yang membuat seseorang menjadi manusia, namun
hakikat itu seringkali berubah-ubah setiap zamannya.
Oleh
Novichenko—salah satu penganut baru marxisme—konsep itu kemudian ditafsirkan
sebagai kemanusiaan yang dituntut oleh realisme-sosialis.
Humanisme universal dan realisme sosialis memiliki satu subyek
yang sama yaitu manusia sebagai insan sekaligus sebagai makhluk sosial. Dan dua
konsep tersebut pula dapan menjadi manifestasi akar pikiran antikemanusiaan
yang apabila kedua konsep tersebut tidak menampilkan idealisme yang telah
dipegang teguh dan justru berlawanan dengan kemanusiaan dan kontradiksi
antagonistis/aspirasi-aspirasi sosial yang seharusnya.
Kemunculan
Manikebu ini kemudian memancing Presiden Soekarno—yang diisukan dekat dengan
PKI—untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 8 Mei 1964 yang melarang Manifes
Kebudayaan. Para budayawan, seniman, dan pengarang yang menandatangani Manikebu
hampir semua karya mereka dilarang karena dianggap sebagai bentuk
kontrarevolusioner. Manikebu disebut-sebut sebagai penyelewengan terhadap
Revolusi Indonesia yang berporoskan soko
guru tani, buruh, dan prajurit. Selain pelarangan hampir semua karya
mereka, pengarang pun mendapatkan perilaku yang tidak menyenangkan yang berupa
pemecatan, fitnah, dan serangkaian teror.
Lalu
munculah pertanyaan, kenapa PKI merasa perlu menyerang Manifes Kebudayaan?
Ada
kemungkinan karena para sastrawan, seniman, dan budayawan yang menganut
idealisme Pancasila, baik yang mendukung Manikebu maupun yang tidak mendukung
telah menyiapkan rencana
untuk menyelenggarakan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI), yang
pengelompokannya sangat terorganisir dan ditakutkan akan menjadi suatu bahaya
yang akan berkembang menjadi lebih besar jika tidak sesegera mungkin
dihentikan.
Konsep
hati nurani universal lalu menjadi tidak sesuai bagi PKI dan dinilai terlalu
umum serta tidak revolusioner sehingga memberikan tuduhan baru bahwasanya Manikebu
memisahkan kebudayaan dan politik, menjadikan Manikebu pegangan dan pedoman
berarti mengesampingkan Manifesto Politik. Hal itu diperparah dengan pernyataan
Presiden Soekarno yang menganggap pendukung Manikebu ragu-ragu terhadap
revolusi dan menganggap Manikebu bertentangan dengan Manifesto Politik.
Pada
tanggal 27 Agustus-2 September 1964, PKI mengadakan Konferensi Nasional Sastra
dan Seni Revolusioner di Jakarta. Hal tersebut dilakukan untuk menandingi KKPI
dan juga membuktikan bahwa suasana kebudayaan saat itu berada di bawah
kekuasaan PKI. Manikebu kemudian berhasil dipukul mundur, namun benteng
Pancasila yang dipegang teguh oleh para pendukungnya tidak dapat ditaklukkan.
1965
dan setelahnya
Puncak
dari perseteruan para pengarang/sastrawan Indonesia yang mendukung dan
menandatangani Manifes Kebudayaan dengan sastrawan Lekra—yang diasosiasikan
sebagai pendukung PKI—terjadi selepas pecah kudeta Gerakan 30 September 1965.
Segala hal yang dulunya bersifat paksaan, desakan dalam berbagai bidang kehidupan,
seakan-akan hilang begitu saja saat beberapa hari setelah peristiwa Gestapu
diadakan rapat raksasa yang menuntut partai dan ormas yang terlibat Gestapu
segera dibubarkan.
Dalam
bidang kesusastraan sendiri, perubahan terjadi sangat cepat dengan dihadapkannya
situasi tragis dengan sastrawan Lekra, baik yang terlibat langsung maupun yang
sekedar simpatisan. Mereka diburu, ditangkapi, dan dipenjarakan, sebagiannya
tanpa proses pengadilan apa pun. Hal ini sangat berlawanan dengan para
pengarang yang menandatangani Manikebu yang sebelumnya terus menerus merasakan
teror dan dikejar-kejar ketakutan menjadi terbebas begitu saja dari sebuah
lubang sempit dan gelap. Mereka muncul kembali dengan semangat baru dan menjadi
lebih berhati-hati dalam menyikapi kehidupan politik.
Gerakan
pertama yang dilakukan di bidang kebudayaan setelah Gestapu dan pembubaran PKI
terjadi, diselenggarakan sebuah Simposium Kebangkitan Semangat ’66:
Mendjeladjah Tracee Baru yang dilangsungkan di Universitas Indonesia tanggal
6-9 Mei 1966. Penyenggaraan simposium ini dilatarbelakangi kesadaran bahwa
kebudayaan harus terbebas dari segala macam kekuasaan politik. Dari simposium
ini pula muncul istilah Angkatan ’66. Istilah Angkatan ’66 ini sebagai bukti
sekaligus menegaskan sikap yang menolak campur tangan bahkan dominasi politik
di dalam bidang seni dan budaya, karena terdapat anggapan bahwa kedua hal
tersebut berada di wilayah yang berbeda. H.B. Jassin menggunakan istilah ini
dengan tujuan sebagai sebuah gerakan yang mencerminkan semangat perlawanan atas
berbagai penyelewengan yang dilakukan pemerintah saat itu.
Dengan
adanya sikap yang menolak politisasi dalam dunia sastra Indonesia membuat peran
politik dalam dunia kesusastraan Indonesia memudar selepas Angkatan ’66. Para
pengaran Indonesia tidak lagi melahirkan karya sastra yang signifikan sebagai
respons terhadap masalah-masalah politik, dan lebih merespons terhadap kondisi
sosial.
Karya
sastra Indonesia kemudian didominasi oleh novel-novel yang lebih berfokus
kepada masalah pribadi, maupun lepas dari kondisi sosial. Hal ini diikuti
dengan bermunculannya pengarang-pengarang wanita yang kini mulai mengimbangi
jumlah pengarang laki-laki yang selama ini mendominasi dunia sastra Indonesia.
Mungkin salah satu penyebab kurangnya diangkat tema politik adalah karena
kemunculan wajah-wajah baru tersebut. Sebagai contoh Barokah, yang merupakan
seorang penyair perempuan berasal dari Semarang yang karyanya bersifat
impresif, kaya akan emosi dan melankoli. Selain itu, terdapat juga Isma Sawitri
yang puisi-puisinya sarat dengan permasalahan manusia dan kehidupan.
Ternyata,
suasana yang kondusif bagi pengarang untuk berkarya dan mengembangkan kebebasan
berkreasi tidak berbanding lurus dengan apresiasi dan tanggapan masyarakat. Hal
itu terjadi ketika majalah Sastra4 yang terbit pada bulan Agustus
1968 memuat sebuah cerpen karya Kipanjikusmin yang berjudul “Langit Makin
Mendung”. Cerpen ini menuai banyak protes keras dari umat Islam karena cerpen
tersebut menggunakan tokoh-tokoh simbolik yang sangat dimuliakan oleh umat
Muslim. Kasus ini bahkan berujung ke meja hijau dengan H.B. Jassin sebagai
terdakwa, sekaligus menjadi sejarah baru dalam dunia sastra Indonesia dimana
sebuah karya sastra diperkarakan di depan pengadilan. Terlebih lagi dengan
anonim pengarang yang tidak diketahui dan justru H.B. Jassin lah yang
mendapatkan vonis hukuman dipenjara selama satu
tahun.
Kasus
ini bisa jadi merupakan salah satu bentuk representasi kebebasan berekspresi
yang dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut: (1) pudarnya pengaruh politik
dalam kesenian, dan lebih khusus lagi kesusastraan, (2) penerbitan kembali
sejumlah majalah dan surat kabar yang independen dan menyediakan rubrik sastra,
memungkinkan sastrawan memiliki banyak pilihan untuk mengirimkan karyanya ke
berbagai media tanpa adanya tekanan faktor di luar sastra, (3) terbitnya
majalah Horison dan Budaya Jaya yang memberi tempat bagi
karya-karya eksperimental, (4) berdirinya Dewan Kesenian Jakarta yang didukung
sepenuhnya oleh Pemerintah DKI Jakarta yang mendorong keberanian untuk lebih
bereksperimen, dan (5) terjadinya pergeseran orientasi sastrawan yang memandang
tradisi budaya memberi kemungkinan yang lebih pas bagi para sastrawan dalam
melakukan eksplorasi estetiknya.
Majalah
Budaja Djaja merupakan majalah yang
terbit pertama kali pada 2 Juni 1968 dengan mengatasnamakan Dewan Kesenian
Jakarta yang dicampurtangani oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin yang menyatakan
betapa pentingnya kebebasan disalurkan secara kreatif. Di edisi pertama, Nono Anwar
Makarim menulis artikel Belenggu Sikap
Mental yang sengaja mengingatkan pemerintah Orde Baru untuk tidak
memanipulasi slogan “persatuan dan kesatuan”. Makarim seolah sudah
menangkap adanya kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan.
Selain kritik terhadap Orde Baru, Nono Anwar Makarim juga menyimpan harapan bahwa Budaya Jaya sebagai media kebudayaan, dapat memulai mengangkat wacana keberagaman (bhineka), dan tidak melulu keseragaman (tunggal ika). Setelah edisi tersebut, tidak ada lagi artikel dengan jenis yang serupa ditemukan di Budaya Jaya yang kemudian lebih memfokuskan pada tulisan yang membicarakan masalah kebudayaan dan kesusastraan. Dan tulisan Nono Anwar Makarim menjadi semarak kembali dan menjadi wacana publik ketika pemerintah Orde Baru tumbang oleh gerakan reformasi, Mei 1997.
Referensi:
Báez, Fernando. 2013. Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Terjemahan: Lita Soerjadinata. Jakarta: Marjin Kiri.
Darma,
Budi. 2007. Bahasa, Sastra, dan Budi
Darma. Surabaya: JP Books.
Idrus.
2000. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke
Roma. Jakarta: Balai Pustaka.
Moeljanto, D.S. & Taufiq Ismail.
1995. Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif
Lekra/PKI, dkk. (Kumpulan Dokumen
Pergolakan Sejarah). Bandung: Mizan.
Rosidi,
Ajip. 1976. Ikhtisar Sejarah Sastra
Indonesia. Bandung: Cikapundung.
Tim Nasional Penulisan Sejarah
Indonesia. 2010. Sejarah Nasional
Indonesia VI: Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.
05/06/14
Cerita Rakyat, Cerita Warisan Leluhur
Apa sih cerita rakyat itu?
Dari namanya sendiri, cerita
rakyat berarti cerita yang hidup di tengah-tengah rakyat. Cerita rakyat
seringkali dituturkan oleh ibu kepada anaknya entah itu untuk sekedar mengisi
waktu kosong, atau sebelum si anak tidur. Dari sejarahnya, cerita rakyat itu
pertama kali diturunkan secara lisan dari satu generasi kepada generasi yang
lebih muda. Meskipun sekarang tradisi mendongeng ini semakin sedikit karena
kesibukan orang tua yang memiliki jadwal jauh lebih padat daripada para orang
tua jaman dulu dan mengingat anak jaman sekarang yang memandang cerita rakyat
ataupun mendongeng adalah sebuah tradisi yang kuno.
Dulu, cerita rakyat jarang ada
yang dituliskan mengingat tukang cerita yang menuturkannya belum tentu bisa
membaca, sehingga cerita rakyat cenderung mengalami perubahan jika diceritakan
kembali oleh orang yang berbeda. Berbeda dengan sastra tertulis yang hidup di
istana kerajaan yang memiliki bukti nyata berupa tulisan dalam naskah-naskah
kuno. Tapi, tidak jarang ada pula cerita rakyat yang kemudian diangkat menjadi
sastra tertulis karena kehendak istana. Itu pun ceritanya kemudian disusun
kembali dan disesuaikan dengan kehendak istana.
Apa yang menjadi ciri khas cerita rakyat?
Cerita rakyat mencakup suatu
bidang yang cukup luas, cerita-cerita, ungkapan, peribahasa, nyanyian, adat
resam, undang-undang, teka-teki, permainan, kepercayaan dan perayaan yang
kesemuanya itu bisa didapatkan di dalam cerita rakyat. Dengan mengkaji cerita
atau sastra rakyat, dapat diketahui pandangan dunia, nilai kemasyarakatan dan
masyarakat yang mendukungnya.
Menurut Liaw Yock Fang, cerita
rakyat dibagi menjadi empat jenis, yaitu:
- Cerita asal-usul
Atau bahasa
kerennya dongeng aetiologis. Merupakan
cerita rakyat paling tua yang sudah bisa dimasukkan ke dalam bidang mitos, dan
cerita yang dianggap benar-benar terjadi oleh penceritanya. Cerita asal-usul,
bukan saja menceritakan asal mula suatu tempat atau desa. Tapi juga menceritakan
penciptaan alam semesta seperti bumi, matahari, bulan, dan manusia. Ada pula
asal-usul berbagai tanaman dan tumbuh-tumbuhan, dan binatang. Atau penjelasan
mengapa di tepi sungai hutan rimba banyak pohon-pohon yang tinggi, atau bahkan
penyebab tongkol jagung berlubang dan lain sebagainya. Mau tahu beberapa dongeng aetiologis? Bisa baca di Ringkasan Beberapa Dongeng Aetiologis.
- Cerita binatang.
Yang biasa
disebut dengan cerita fabel, dimana binatang-binatang diceritakan memiliki
kemampuan dan berlaku layaknya manusia. Cerita binatang ini termasuk jenis
sastra rakyat yang sangat populer, karena masing-masing bangsa di dunia ini
memiliki cerita binatang. Kayak bangsa Melayu, Jepang, India, dll. Cuman
anehnya, ada cerita-cerita binatang dari beberapa bangsa yang punya banyak
persamaan. Seperti contohnya cerita Kancil yang lomba lari dengan Siput. Nah,
ternyata cerita perlombaan dua binatang itu tidak hanya dimiliki oleh
Indonesia, seorang. Tapi juga ada di India, Eropa, Jepang, dll. Yang berbeda
adalah jenis binatangnya. Nah, kalau di Indonesia kan yang berlomba lari adalah
Kancil dan Siput. Kalau di India beda lagi. Yang berlomba justru Kura-kura dan
Burung Garuda yang dipercaya sebagai tunggangan Dewa Wisnu. Kalau di Eropa yang
berlomba adalah Kura-kura dan Kelinci. Di cerita lain pun begitu juga.
Loh, kok bisa sih ada kesamaan cerita seperti itu? Jangan-jangan yang lainnya ngeplagiat lagi.
Hehehe, kayak
kasusnya sinetron yang ngeplagiat drama aja ah. Sampai sekarang sih, belum
ditemukan kebenarannya kayak gimana. Tapi ada lumayan banyak teori dari para
sarjana yang seneng dongeng /heh yang mencoba menjawab pertanyaan di atas. Ada
yang bilang karena cerita-cerita binatang itu sumber aslinya dari India, terus
kesebar di Asia dan Eropa. Uhm… emang bener sih. Mengingat di India memang
banyak ditemukan kumpulan cerita binatang yang katanya Liaw Yock Fang
‘masyhur’, macem cerita Jataka, Pancatantra, dan Sukasapti (dan penulis belum baca tiga-tiganya, hehe /plak).
Soalnya, dalam pandangan orang-orang India tuh, semua makhluk—entah yang
bentuknya dewa, jin, atau manusia, bahkan binatang—itu sama aja. Mereka percaya
manusia itu kalau menititis (?) mungkin bakalan jadi binatang. Gitu juga
binatang yang mungkin bisa jadi manusia juga. Jadi karena kepercayaan gitu kali
ya binatang dibikin sama kayak manusia, bisa ngomong dan berpikir. Kalau
misalnya manusia yang dibikin kayak binatang? Hm… mungkin banyak juga terdapat
di dunia ini. Hehe.
Teori lain bilang beda lagi. Mereka berpendapat kalau cerita binatang tuh lahir dalam masyarakat yang primitif di mana saja. Jadi, gak mesti di India doang. Nah, masyarakat primitif ini kan manusianya masih tinggal di gua, terus tiap hari temenannya sama binatang aja. Jadi mereka lalu bergantung pada binatang buat hidup. Jadi, mereka tahu banget sifat-sifat binatang. Terus, binatang juga dikasih sifat-sifat manusia, dan bagi mereka perbedaan bentuk fisik tuh tidak penting. Duh, duh, duh, kayak Tarzan aja ya? Hehe. Salah satu contoh cerita binatang adalah Hikayat Pelanduk Jenaka.
- Cerita jenaka
Cerita jenaka,
ya berarti ceritanya jenaka. Kalau dari KBBI sih, arti dari jenaka adalah
“membangkitkan tawa, kocak, lucu; menggelikan”. Jadi, kalau misalnya ada orang
yang sukanya melucu, belum tentu jenaka karena belum tentu dia bisa
membangkitkan tawa. Tapi, kalau ada orang yang gak ngomong aja udah bikin orang
ketawa, nah berarti itu badut /hei!
Eh tapi,
ternyata di kamus A Malay-English
Dictionary-nya R. J. Wilkinson, jenaka tuh memiliki arti, “wily, full of
stratagem”. Jadi cerita jenaka itu bisa juga diartikan sebagai cerita mengenai
tokoh yang lucu, menggelikan, atau licik dan licin.
Tahu gak sih,
cerita jenaka tuh lahir karena manusia tuh lebay. Sebagai contoh tuh, kalau mau
menceritakan kebodohan manusia, yang tercipta adalah tokoh yang bodoh banget.
Kalau contoh di dalam cerita rakyat tuh, Pak Pandir. Kalau dalam kehidupan
sehari-hari, silakan lihat TV aja dan pilih channel yang banyak acara
lawak-lawakannya hehe.
Selain
pembodohan, ada juga tuh, kalau mau menceritakan ke-hoki-an manusia, dibikin
hoki banget, contohnya dalam cerita rakyat ya Pak Belalang. Terus kalau mau
bikin tokoh licik, jadi licik banget kayak cerita Si Luncai. Kalau malang
banget, ya kayak cerita Lebai Malang. Dan kalau mau yang lucu banget ya Abu
Nawas.
Cerita jenaka
tuh merupakan bagian dari sastra dunia. Kalau dalam sastra Jerman dan Belanda,
ada tokoh terkenal yang namanya Uilenspiegel
(uil: burung hantu, spiegel: cermin). Kalau dalam sastra
Arab-Turki, ada yang namanya Jaha atau Khoja Nasreddin yang kalau dalam
Arab-Parsi dikenal dengan nama Abu Nawas. Nah kalau dalam sastra Nuantara, orang
Batak dikenal paling banyak tokoh-tokoh jenakanya, macem Ama ni Pandir, Si Lahap, Si Bilolang, dan Si Jonaha atau Jonaka.
Terus Sunda juga punya Kebayan. Cuman
Kebayan ini tuh lebih ke merangkum semua ciri cerita jenaka. Kadang dia bodoh
banget, kadang-kadang dia juga licik, dan ada juga diceritain dia mujur dan
selamat dari bahaya yang mengancamnya. Kalau dalam Sastra Jawa sih, cerita
jenaka kurang berkembang. Apa karena orang Jawa suka serius, ya, makanya cerita
jenaka gak laku. Hehe /plak. Uhm, tapi mungkin karena dalam pewayangan sendiri
ada tokoh Punakawan yang selalu muncul dengan tingkah jenaka kayak Semar,
Petruk, Gareng, dan Bagong.
- Cerita pelipur lara
Bahasa
kerennya folk-romance. Orang Melayu
sendiri yang namain kayak gituan. Kenapa? Karena cerita pelipur lara adalah
jenis cerita yang berguna buat melipur hati yang lara, yang duka nestapa, dan
galau. Nah, kan dulu gak ada yang namanya radio, TV, film. Jadi kalau lagi
galau, makin merana deh karena sendirian, gak kayak anak muda jaman sekarang,
yang galau dikit langsung pergi ke bioskop /heh.
Nah, karena
itulah cerita pelipur lara jadi satu-satunya hiburan buat yang laranya terluka
/elah ah. Kalau matahari sudah terbenam, terus orang kampung udah pada makan
dan mulai istirahat, saat itulah si tukang cerita mulai beraksi. Bercerita
dengan nada yang merata seolah-olah membaca dari sebuah kitab. Sampai larut
malam, cerita itu terus berlanjut. Nah, kalau misalnya dalam satu malam aja
belum selesai ceritanya, lanjut lagi ke malam berikutnya, dan episode dua dan
seterusnya pun dimulai. Macem sinetron aja ye.
Nah, hebatnya
tuh, si tukang cerita gak pernah bikin kesalahan dalam bercerita meskipun dia
gak bisa baca tulis. Si tukang cerita ini dinamai sahibul hikayat, dan dia bercerita tuh demi mencari nafkah dari
satu kampung ke kampung yang lain. Dan karena cuman si sahibul hikayat ini satu-satunya hiburan, so jelaslah kedatangannya
selalu disambut hangat sama orang kampung.