17/03/15

Menghayati Perjalanan Sejarah Kehidupan Dan Kebudayaan


Hari itu cuaca seakan mendukung harapan kami. Semenjak pagi, tak ada sapaan hujan yang di hari sebelumnya selalu mengguyur kota Jogjakarta. Ya, mungkin karena harapan dan semangat kami jauh lebih menggebu daripada kemauan langit untuk menjatuhkan butiran air.
Sejak adzan Shubuh berkumandang, official para penari untuk persiapan penampilan hari Sabtu, 7 Maret 2015 sudah berkoar-koar untuk membangunkan para penari demi memenuhi janji mereka agar berhadir di FIB UGM pada jam yang telah ditentukan. Tindakan itu—membangunkan para penari—sangat diperlukan mengingat kebanyakan di antara mereka sangat sulit untuk bangun pagi.
Mereka mulai latihan untuk mengisi acara di Seminar Nasional Anti Korupsi sejak tanggal 28 Februari 2015. Semula penari yang berkemauan untuk turut memberikan penampilan tersebut berjumlah 13 orang sebelum pada akhirnya Dhani mengundurkan diri karena kesibukannya di kampus. Jadilah, 12 orang lelaki yang berasal dari tiga universitas berbeda-beda itu memasukkan jadwal latihan Rapai dalam jadwal harian mereka selama satu minggu.
Latihan selalu dimulai pada jam 16.00, namun sayangnya kebiasaan terlambat masih tetap menggelayuti pundak mereka, sehingga tak jarang official mereka misuh-misuh sembari menunggu kedatangan para penari. Hal ini seakan menjadi ritual tak tertulis yang selalu dilakukan oleh para penari Rampoe setiap kali ada agenda latihan.
Namun, hasil tidak pernah mengkhianati prosesnya. Dengan suksesnya penampilan Rapai dalam acara seminar nasional Pemuda Anti Korupsi, Sabtu, 7 Maret 2015 lalu, semakin meningkatkan kepercayaan diri para penari lelaki angkatan 5 Rampoe UGM untuk bisa kembali tampil di kesempatan berikutnya. Penampilan itu tak hanya ditonton oleh kalangan mahasiswa yang menghadiri seminar nasional tersebut, namun juga dilihat oleh perwakilan KEMENPORA, perwakilan KPK, hingga perwakilan dari universitas-universitas yang ada di Indonesia.
Meskipun pada malam sebelumnya banyak terjadi perubahan pada gerakan tarian yang akan ditampilkan, hal itu tidak membuat para penari patah semangat. Penampilan yang dibawakan oleh 12 orang penari dan 1 orang syahi ini mendapatkan tepuk tangan meriah dari para penonton. Ada 9 gerakan yang mereka tampilkan dalam waktu 15 menit di atas panggung. Meskipun pada akhirnya mereka tidak jadi menampilkan formasi bunga yang menjadi formasi andalan pada salah satu gerakan tarian, penampilan mereka tetap mampu memuaskan, memukau, dan menghibur para penonton.
Add caption
Luar biasa sekali saya dapat berkesempatan untuk tampil Rapai Geleng bersama kawan Rampoe UGM di ION’s. Apresiasi peonton yang meriah menunjukkan bahwasanya mereka terhibur. Itu semua tak lepas dari totalitas dan rasa semangat kita saat latihan,” komentar Ridwan, salah satu penari Rapai saat ditanya bagaimana kesannya saat turut tampil pada acara tersebut. Meskipun dia mengakui dia melakukan beberapa kesalahan saat penampilan, dia tetap memberikan senyuman, seperti apa yang dikatakan oleh salah satu seniornya di Rampoe UGM, bahwa “menarilah untuk membuat orang bahagia, karena itu, tersenyumlah saat menari”.
Penari Rapai Geleng yang turut tampil di ballroom ION’s itu terdiri dari 8 orang dari angkatan 5 dan 4 orang dari angkatan 4. Penampilan ini merupakan penampilan Rapai keempat kalinya bagi angkatan 5. Meskipun masih terbilang memiliki pengalaman yang sedikit, itu tidak membuat mereka pesimis untuk tampil bersama angkatan 4 yang memiliki pengalaman jauh lebih banyak dari mereka. Justru mereka belajar banyak dari senior mereka yang turut merapat di dalam barisan mereka dan selalu menyertai mereka dalam satu minggu latihan mereka.
Tidak ada sesuatu yang paling istimewa selain duduk rapat sambil menghayati perjalanan sejarah kehidupan dan kebudayaan. Itulah yang aku maknai dengan indahnya kebersamaan,” ujar Nazar saat ditanya mengenai kesannya selama latihan dan penampilan di Seminar Nasional Pemuda Anti Korupsi. Tambahnya, “Apalagi ditambah dengan temanya—tema seminar—yang begitu menggugah, Pemuda Anti Korupsi.”
Mahasiswa tahun kedua jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di UIN Kalijaga itu berharap bahwa semoga para generasi muda untuk selalu mencintai dan melestarikan budayanya, dan bukan justru tetap melestarikan budaya yang jelek seperti korupsi.

15/09/14

Ironi Si Negara Kaya: Cerita Rakyat Yang Dilupakan

Indonesia merupakan negara yang kaya dalam berbagai macam hal. Tidak hanya kaya akan hasil alamnya, Indonesia juga kaya adat, suku, bahasa, bahkan budaya yang berupa cerita rakyat. Cerita rakyat bukan menjadi barang yang baru lagi di dunia kesusastraan Indonesia sebab telah ada sejak beribu-ribu tahun lamanya. Cerita rakyat, yang dulunya disebarkan dari mulut ke mulut, jauh lebih dulu ada sebelum aksara dikenal luas dan dipelajari oleh berbagai golongan. Hampir semua daerah dan suku di Indonesia memiliki cerita yang memiliki kekhasan yang berbeda-beda mengenai rakyat di suatu wilayah. Hal itu semakin memperkaya khazanah cerita yang hidup di tengah-tengah masyarakat tersebut.

Sama halnya seperti bahasa Indonesia, cerita-cerita rakyat ini pun merupakan salah satu identitas bangsa, karena secara umum cerita rakyat diangkat dari kehidupan rakyat di Indonesia yang berkaitan erat dengan budaya luhur bangsa Indonesia. Keberadaan cerita rakyat merupakan suatu hal yang menjadi bukti peradaban budaya di Indonesia. Cerita rakyat menjadi suatu kekayaan terpendam dalam suatu komunitas yang terbatas karena hanya diketahui oleh penghuni wilayah atau pengguna bahasa tertentu saja namun keberagamannya menjadi ciri khas tersendiri bagi dunia cerita rakyat di Indonesia jika dibandingkan dengan cerita-cerita rakyat dari negara lain.
Tetapi, ratusan bahkan ribuan cerita rakyat yang selalu didongengkan secara turun temurun itu kini semakin dilupakan karena posisinya yang digeserkan oleh film dan dongeng dari Barat atau negara-negara maju lain yang memasok karya fiksi ke Indonesia. Sangat jarang menemukan anak-anak yang sangat antusias pada cerita rakyat, bahkan tidak sedikit anak-anak SD yang tidak mengetahui cerita-cerita rakyat yang ada. Hal itu semakin diperparah oleh kemajuan teknologi yang memperkenalkan TV, komputer, game, dan berbagai jenis barang-barang modern lain kepada anak-anak. Cerita-cerita rakyat digusur oleh sinetron, film, komik, dan novel yang belum tentu memuat dan sesuai dengan budaya Indonesia. Dongeng yang anak-anak tahu hanyalah dongeng-dongeng dari Barat seperti Putri Salju, Cinderella, atau Putri Tidur, tanpa mereka tahu bahwa di daerah mereka sendiri memiliki keberagaman cerita rakyat yang kaya akan moral dan kearifan budaya lokal.
Berkurangnya budaya mendongeng yang biasa dilakukan oleh seorang Ibu kepada anaknya atau oleh Tukang Cerita yang menuturkan cerita kepada suatu penduduk atau kelompok membuat kekhawatiran akan semakin terlupakannya cerita rakyat asli Indonesia. Sebenarnya, efek negatif dari globalisasi yang masuk ke negeri ini harus bisa ditangkal dengan penuh kepercayaan diri dan tanpa rasa takut akan kehilangan identitas budaya yang menjadi kebanggaan bangsa.

19/06/14

Sastra Politik Dalam Tragedi 1965 Dan Setelahnya

Pembakaran dan pelarangan buku adalah salah satu jenis alternatif yang merupakan tindakan nyata atas kebencian terhadap buku. Kebencian terhadap buku terkadang mengambil langkah-langkah yang cukup ekstrem, yang tidak hanya sekedar melakukan pembakaran terhadap buku-buku namun juga penghancuran terhadap manusia pemiliknya atau pengarang buku tersebut.

Penjarahan yang seringkali diakhiri dengan pembakaran telah dilakukan sejak lama, bahkan sudah terjadi sejak jaman Sumeria kuno (4100-3300 SM). Di Indonesia sendiri, bentuk-bentuk penghancuran terhadap buku sudah terjadi sejak jaman penjajahan dimana terdapat pelarangan terhadap buku-buku yang diindikasikan sebagai bacaan liar oleh pemerintah kolonial. Bacaan liar yang menggunakan bahasa Melayu-rendah tersebut merupakan terbitan dari penerbit-penerbit swasta yang dianggap memiliki pandangan berbeda dari Pemerintah Hindia Belanda dan dikhawatirkan mampu merusak moral bangsa. Hal inilah yang kemudian menjadi latar belakang pemerintah kolonial untuk mendirikan suatu taman bacaan resmi yang kemudian terkenal dengan nama Balai Pustaka.

Selain itu, banyak juga terjadi penangkapan sejumlah aktivis pergerakan karena tulisan-tulisan mereka yang menyerang pemerintah kolonial. Era kemerdekaaan, dimasa Demokrasi Terpimpin terjadi pula praktik pelarangan buku terhadap Hoa Kiau di Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer dan Demokrasi Kita karya Mohammad Hatta. Begitu pula dengan hampir semua karya Sutan Takdir, Idrus, dan Mochtar Lubis.

Kemunculan Manifes Kebudayaan (Manikebu) dan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) yang menekankan kebebasan individu untuk berkarya secara kreatif dalam konsepsi humanisme universal hidup di masyarakat liberal menentang semboyan PKI yang saat itu mencapai puncak kejayaan di era Orde Lama. Semboyan PKI tersebut, “politik adalah panglima” membuat seluruh kehidupan masyarakat berada di bawah dominasi politik PKI, dan seluruh gerakan revolusioner dan berbau liberal dilarang. Sehingga, kemunculan Manikebu dan KKPI seolah menjadi juru selamat bagi banyak budayawan, seniman, dan para pengarang Indonesia di era tersebut.

Di masa Orde Baru, pelarangan buku mengambil bentuk yang sistematis akibat tersedianya argumen ideologis dan keperluan mempertahankan sebuah versi ‘kebenaran’ politis. Orde Baru dan kekuasaan Soeharto berdiri di atas sebuah misteri tragedi pembunuhan massal terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI. Kenyataan ini menjadi landasan bagi kebijakan pelarangan terhadap hampir seluruh buku-buku dari mereka yang diasosiasikan kiri.

Setelah kepemimpinan Soeharto jatuh, Indonesia memasuki fase kebebasan, termasuk diantaranya kebebasan dalam dunia penulisan dan penerbitan. Bisa ditemukan dengan bebas buku-buku yang dulunya masuk ke dalam indeks buku-buku terlarang di toko-toko buku, meskipun suasana kebebasan itu tidak bertahan lama.

Buku dan karya sastra yang dihancurkan dan dilarang bukan karena semata-mata fungsinya di dalam masyarakat, namun juga dianggap musuh karena mengandung gagasan humanisme pengarangnya. Buku dan karya sastra memiliki semacam cita-cita atau fantasi mengenai suatu jenis masyarakat masa depan oleh pengarangnya.

Karya sastra tidak hanya mengangkat permasalahan kehidupan atau kondisi sosial. Sering didapati karya sastra yang memuat pula kondisi politik yang merupakan sebuah cita-cita pengarangnya yang menuliskan realita dalam fiksi yang bertolak belakang dengan realita yang terjadi di dalam masyarakat. Hal itu dapat terjadi, karena itulah cita-cita pengarang yang mengharapkan sebuah realita yang lebih baik.

Dalam dunia sastra Indonesia, terjadi pula peristiwa politik yang sangat kentara sekali terlihat dari dua hal: (1) pengelompokan angkatan, dan (2) novel-novel perang. Peran politik tersebut nampak pula hingga Angkatan ’66, dimana saat itu di Indonesia terjadi perang politik dengan menjunjung gerakan revolusioner.

Sebelum 1965

Pada 17 Agustus 1959, amanat Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang diberi judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” dan dikenal sebagai “Manifesto Politik Republik Indonesia” membuat kelahiran teori “Politik adalah panglima”. Semboyan tersebut kemudian membuat dominasi politik di kehidupan masyarakat, baik itu di kampus, rapat-rapat mahasiswa, demonstrasi-demonstrasi ‘revolusioner’, dan lain-lain. Politik juga memasuki dunia kebudayaan dan seniman. Pemaksaan doktrin komunis realisme sosialis menjadi tindakan represif yang terjadi di Indonesia dan bertentangan dengan konsepsi humanisme universal yang menjadi pandangan masyarakat liberal di Eropa Barat, yang lebih menekankan kepada kebebasan individu untuk berkarya secara kreatif. Hal-hal tersebut di atas melatarbelakangi kemunculan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) pada tahun 1963.

Di dalam Prahara Budaya, D.S. Moeljanto menjelaskan bahwa humanisme universal sendiri ada karena infiltrasi kalangan Belanda yang memalingkan sastrawan dan seniman dari perjuangan revolusi. Idrus, di dalam cerita pendeknya yang berjudul “Surabaya” menjelek-jelekkan revolusi yang terjadi di Indonesia masa itu yang juga merupakan salah satu bagian dari pencelaannya terhadap Manifesto Politik. Pemerintah memaksa rakyatnya yang masih mencurigai kemunculan sekutu untuk berpikiran positif terhadap kedatangan tentara Belanda yang hanya memiliki tujuan mengambil tawanan perang.

Teriakan-teriakan membelah udara, tapi pemimpin-pemimpin Indonesia membelah dua jantung rakyat. Mereka ini dengan sekuat tenaga memberikan penerangan kepada rakyat, sekutu tidak akan berlaku seperti di Jakarta. Sekutu hanya akan mengambil tawanan-tawanan perang dan orang-orang Jepang. Jantung rakyat yang sebelah percaya kepada kata-kata pemimpin, tapi jantungnya yang sebelah lagi tetap mencurigai sekutu.
(Idrus, 2000: 121)

Dalam majalah yang sama, Wiratmo Soekito menyatakan bahwa kesusastraan adalah yang memimpin suatu bangsa, namun berbeda dengan pimpinan politik. Wiratmo mengatakan kesusastraan tahu bagaimana mengatasi antimoni-antimoni yang timbul dari aspirasi-aspirasi nasional. Ini berarti, kesusastraan bagi Wiratmo mampu mendukung aspirasi-aspirasi nasional yang memiliki pendirian dan berdasarkan pada asas Pancasila yang telah dirumuskan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni  1945.

Wiratmo memandang Soekarno bukan hanya sebagai seorang politisi, karena ia menilai buku Bung Karno yang berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi” memiliki nilai yang jauh lebih tinggi sebagai suatu bentuk kesusastraan karena mengandung nilai-nilai aspirasi nasional. Buku tersebut merupakan sebuah tulisan Bung Karno mengenai latar belakang sejarah pidatonya yang menjadi awal mula kelahiran Pancasila.

Kembali kepada konsep humanisme universal, Wiratmo menyebut-nyebut kata budi nurani universal di artikel yang sama yang dia ambil dari sebuah kisah Sokrates dan Marx. Di dalam bukunya, Marx berpendapat bahwa humanisme universal merupakan hakikat yang sebenarnya dari kemanusiaan yang membuat seseorang menjadi manusia, namun hakikat itu seringkali berubah-ubah setiap zamannya.

Oleh Novichenko—salah satu penganut baru marxisme—konsep itu kemudian ditafsirkan sebagai kemanusiaan yang dituntut oleh realisme-sosialis. Humanisme universal dan realisme sosialis memiliki satu subyek yang sama yaitu manusia sebagai insan sekaligus sebagai makhluk sosial. Dan dua konsep tersebut pula dapan menjadi manifestasi akar pikiran antikemanusiaan yang apabila kedua konsep tersebut tidak menampilkan idealisme yang telah dipegang teguh dan justru berlawanan dengan kemanusiaan dan kontradiksi antagonistis/aspirasi-aspirasi sosial yang seharusnya.

Persoalan humanisme universal ini menjadi sebuah permasalahan yang rumit dalam kelahiran Manikebu. Dalam diskusi tanya-jawab dan tukar pikiran, diajukan sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan toleransi ideologi, angkatan ’45 dalam kesusastraan Indonesia, dan lain sebagainya.

Kemunculan Manikebu ini kemudian memancing Presiden Soekarno—yang diisukan dekat dengan PKI—untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 8 Mei 1964 yang melarang Manifes Kebudayaan. Para budayawan, seniman, dan pengarang yang menandatangani Manikebu hampir semua karya mereka dilarang karena dianggap sebagai bentuk kontrarevolusioner. Manikebu disebut-sebut sebagai penyelewengan terhadap Revolusi Indonesia yang berporoskan soko guru tani, buruh, dan prajurit. Selain pelarangan hampir semua karya mereka, pengarang pun mendapatkan perilaku yang tidak menyenangkan yang berupa pemecatan, fitnah, dan serangkaian teror.

Lalu munculah pertanyaan, kenapa PKI merasa perlu menyerang Manifes Kebudayaan?

Ada kemungkinan karena para sastrawan, seniman, dan budayawan yang menganut idealisme Pancasila, baik yang mendukung Manikebu maupun yang tidak mendukung telah menyiapkan rencana untuk menyelenggarakan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI), yang pengelompokannya sangat terorganisir dan ditakutkan akan menjadi suatu bahaya yang akan berkembang menjadi lebih besar jika tidak sesegera mungkin dihentikan.

Konsep hati nurani universal lalu menjadi tidak sesuai bagi PKI dan dinilai terlalu umum serta tidak revolusioner sehingga memberikan tuduhan baru bahwasanya Manikebu memisahkan kebudayaan dan politik, menjadikan Manikebu pegangan dan pedoman berarti mengesampingkan Manifesto Politik. Hal itu diperparah dengan pernyataan Presiden Soekarno yang menganggap pendukung Manikebu ragu-ragu terhadap revolusi dan menganggap Manikebu bertentangan dengan Manifesto Politik.

Pada tanggal 27 Agustus-2 September 1964, PKI mengadakan Konferensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner di Jakarta. Hal tersebut dilakukan untuk menandingi KKPI dan juga membuktikan bahwa suasana kebudayaan saat itu berada di bawah kekuasaan PKI. Manikebu kemudian berhasil dipukul mundur, namun benteng Pancasila yang dipegang teguh oleh para pendukungnya tidak dapat ditaklukkan.

1965 dan setelahnya

Puncak dari perseteruan para pengarang/sastrawan Indonesia yang mendukung dan menandatangani Manifes Kebudayaan dengan sastrawan Lekra—yang diasosiasikan sebagai pendukung PKI—terjadi selepas pecah kudeta Gerakan 30 September 1965. Segala hal yang dulunya bersifat paksaan, desakan dalam berbagai bidang kehidupan, seakan-akan hilang begitu saja saat beberapa hari setelah peristiwa Gestapu diadakan rapat raksasa yang menuntut partai dan ormas yang terlibat Gestapu segera dibubarkan.

Dalam bidang kesusastraan sendiri, perubahan terjadi sangat cepat dengan dihadapkannya situasi tragis dengan sastrawan Lekra, baik yang terlibat langsung maupun yang sekedar simpatisan. Mereka diburu, ditangkapi, dan dipenjarakan, sebagiannya tanpa proses pengadilan apa pun. Hal ini sangat berlawanan dengan para pengarang yang menandatangani Manikebu yang sebelumnya terus menerus merasakan teror dan dikejar-kejar ketakutan menjadi terbebas begitu saja dari sebuah lubang sempit dan gelap. Mereka muncul kembali dengan semangat baru dan menjadi lebih berhati-hati dalam menyikapi kehidupan politik.

Gerakan pertama yang dilakukan di bidang kebudayaan setelah Gestapu dan pembubaran PKI terjadi, diselenggarakan sebuah Simposium Kebangkitan Semangat ’66: Mendjeladjah Tracee Baru yang dilangsungkan di Universitas Indonesia tanggal 6-9 Mei 1966. Penyenggaraan simposium ini dilatarbelakangi kesadaran bahwa kebudayaan harus terbebas dari segala macam kekuasaan politik. Dari simposium ini pula muncul istilah Angkatan ’66. Istilah Angkatan ’66 ini sebagai bukti sekaligus menegaskan sikap yang menolak campur tangan bahkan dominasi politik di dalam bidang seni dan budaya, karena terdapat anggapan bahwa kedua hal tersebut berada di wilayah yang berbeda. H.B. Jassin menggunakan istilah ini dengan tujuan sebagai sebuah gerakan yang mencerminkan semangat perlawanan atas berbagai penyelewengan yang dilakukan pemerintah saat itu.

Dengan adanya sikap yang menolak politisasi dalam dunia sastra Indonesia membuat peran politik dalam dunia kesusastraan Indonesia memudar selepas Angkatan ’66. Para pengaran Indonesia tidak lagi melahirkan karya sastra yang signifikan sebagai respons terhadap masalah-masalah politik, dan lebih merespons terhadap kondisi sosial.

Karya sastra Indonesia kemudian didominasi oleh novel-novel yang lebih berfokus kepada masalah pribadi, maupun lepas dari kondisi sosial. Hal ini diikuti dengan bermunculannya pengarang-pengarang wanita yang kini mulai mengimbangi jumlah pengarang laki-laki yang selama ini mendominasi dunia sastra Indonesia. Mungkin salah satu penyebab kurangnya diangkat tema politik adalah karena kemunculan wajah-wajah baru tersebut. Sebagai contoh Barokah, yang merupakan seorang penyair perempuan berasal dari Semarang yang karyanya bersifat impresif, kaya akan emosi dan melankoli. Selain itu, terdapat juga Isma Sawitri yang puisi-puisinya sarat dengan permasalahan manusia dan kehidupan.

Ternyata, suasana yang kondusif bagi pengarang untuk berkarya dan mengembangkan kebebasan berkreasi tidak berbanding lurus dengan apresiasi dan tanggapan masyarakat. Hal itu terjadi ketika majalah Sastra4 yang terbit pada bulan Agustus 1968 memuat sebuah cerpen karya Kipanjikusmin yang berjudul “Langit Makin Mendung”. Cerpen ini menuai banyak protes keras dari umat Islam karena cerpen tersebut menggunakan tokoh-tokoh simbolik yang sangat dimuliakan oleh umat Muslim. Kasus ini bahkan berujung ke meja hijau dengan H.B. Jassin sebagai terdakwa, sekaligus menjadi sejarah baru dalam dunia sastra Indonesia dimana sebuah karya sastra diperkarakan di depan pengadilan. Terlebih lagi dengan anonim pengarang yang tidak diketahui dan justru H.B. Jassin lah yang mendapatkan vonis hukuman dipenjara selama satu tahun.

Kasus ini bisa jadi merupakan salah satu bentuk representasi kebebasan berekspresi yang dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut: (1) pudarnya pengaruh politik dalam kesenian, dan lebih khusus lagi kesusastraan, (2) penerbitan kembali sejumlah majalah dan surat kabar yang independen dan menyediakan rubrik sastra, memungkinkan sastrawan memiliki banyak pilihan untuk mengirimkan karyanya ke berbagai media tanpa adanya tekanan faktor di luar sastra, (3) terbitnya majalah Horison dan Budaya Jaya yang memberi tempat bagi karya-karya eksperimental, (4) berdirinya Dewan Kesenian Jakarta yang didukung sepenuhnya oleh Pemerintah DKI Jakarta yang mendorong keberanian untuk lebih bereksperimen, dan (5) terjadinya pergeseran orientasi sastrawan yang memandang tradisi budaya memberi kemungkinan yang lebih pas bagi para sastrawan dalam melakukan eksplorasi estetiknya.

Majalah Budaja Djaja merupakan majalah yang terbit pertama kali pada 2 Juni 1968 dengan mengatasnamakan Dewan Kesenian Jakarta yang dicampurtangani oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin yang menyatakan betapa pentingnya kebebasan disalurkan secara kreatif. Di edisi pertama, Nono Anwar Makarim menulis artikel Belenggu Sikap Mental yang sengaja mengingatkan pemerintah Orde Baru untuk tidak memanipulasi slogan “persatuan dan kesatuan”. Makarim seolah sudah menangkap adanya kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan.

Selain kritik terhadap Orde Baru, Nono Anwar Makarim juga menyimpan harapan bahwa Budaya Jaya sebagai media kebudayaan, dapat memulai mengangkat wacana keberagaman (bhineka), dan tidak melulu keseragaman (tunggal ika). Setelah edisi tersebut, tidak ada lagi artikel dengan jenis yang serupa ditemukan di Budaya Jaya yang kemudian lebih memfokuskan pada tulisan yang membicarakan masalah kebudayaan dan kesusastraan. Dan tulisan Nono Anwar Makarim menjadi semarak kembali dan menjadi wacana publik ketika pemerintah Orde Baru tumbang oleh gerakan reformasi, Mei 1997.

Referensi:

Báez, Fernando. 2013. Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Terjemahan: Lita Soerjadinata. Jakarta: Marjin Kiri.
Darma, Budi. 2007. Bahasa, Sastra, dan Budi Darma. Surabaya: JP Books.
Idrus. 2000. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Jakarta: Balai Pustaka.
Moeljanto, D.S. & Taufiq Ismail. 1995. Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI, dkk. (Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah). Bandung: Mizan.
Rosidi, Ajip. 1976. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Cikapundung.
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional Indonesia VI: Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.



05/06/14

Cerita Rakyat, Cerita Warisan Leluhur


Rasanya untuk bulan Mei lalu saya terlalu sering mendengar kata yang berhubungan dengan ‘cerita rakyat’ dari berbagai media. Di mulai dari ajakan teman untuk ikutan event Camp NaNoWriMo & antologi cerita daerah. Kemudian ada FanFiction Event: Folktale Month. Lalu di malam selasa kemarin, saya nonton acara TV favorit yang merupakan sebuah acara parody Indonesia Lawak Klub yang mengusung tema Cerita Rakyat: Merakyat atau Dilupakan yang semakin menggelitik hati saya untuk menulis artikel yang berkaitan erat dengan cerita rakyat ini.


Apa sih cerita rakyat itu?

Dari namanya sendiri, cerita rakyat berarti cerita yang hidup di tengah-tengah rakyat. Cerita rakyat seringkali dituturkan oleh ibu kepada anaknya entah itu untuk sekedar mengisi waktu kosong, atau sebelum si anak tidur. Dari sejarahnya, cerita rakyat itu pertama kali diturunkan secara lisan dari satu generasi kepada generasi yang lebih muda. Meskipun sekarang tradisi mendongeng ini semakin sedikit karena kesibukan orang tua yang memiliki jadwal jauh lebih padat daripada para orang tua jaman dulu dan mengingat anak jaman sekarang yang memandang cerita rakyat ataupun mendongeng adalah sebuah tradisi yang kuno.

Dulu, cerita rakyat jarang ada yang dituliskan mengingat tukang cerita yang menuturkannya belum tentu bisa membaca, sehingga cerita rakyat cenderung mengalami perubahan jika diceritakan kembali oleh orang yang berbeda. Berbeda dengan sastra tertulis yang hidup di istana kerajaan yang memiliki bukti nyata berupa tulisan dalam naskah-naskah kuno. Tapi, tidak jarang ada pula cerita rakyat yang kemudian diangkat menjadi sastra tertulis karena kehendak istana. Itu pun ceritanya kemudian disusun kembali dan disesuaikan dengan kehendak istana.

Apa yang menjadi ciri khas cerita rakyat?

Cerita rakyat mencakup suatu bidang yang cukup luas, cerita-cerita, ungkapan, peribahasa, nyanyian, adat resam, undang-undang, teka-teki, permainan, kepercayaan dan perayaan yang kesemuanya itu bisa didapatkan di dalam cerita rakyat. Dengan mengkaji cerita atau sastra rakyat, dapat diketahui pandangan dunia, nilai kemasyarakatan dan masyarakat yang mendukungnya.

Menurut Liaw Yock Fang, cerita rakyat dibagi menjadi empat jenis, yaitu:

  • Cerita asal-usul
Atau bahasa kerennya dongeng aetiologis. Merupakan cerita rakyat paling tua yang sudah bisa dimasukkan ke dalam bidang mitos, dan cerita yang dianggap benar-benar terjadi oleh penceritanya. Cerita asal-usul, bukan saja menceritakan asal mula suatu tempat atau desa. Tapi juga menceritakan penciptaan alam semesta seperti bumi, matahari, bulan, dan manusia. Ada pula asal-usul berbagai tanaman dan tumbuh-tumbuhan, dan binatang. Atau penjelasan mengapa di tepi sungai hutan rimba banyak pohon-pohon yang tinggi, atau bahkan penyebab tongkol jagung berlubang dan lain sebagainya. Mau tahu beberapa dongeng aetiologis? Bisa baca di Ringkasan Beberapa Dongeng Aetiologis.
  •  Cerita binatang.
Yang biasa disebut dengan cerita fabel, dimana binatang-binatang diceritakan memiliki kemampuan dan berlaku layaknya manusia. Cerita binatang ini termasuk jenis sastra rakyat yang sangat populer, karena masing-masing bangsa di dunia ini memiliki cerita binatang. Kayak bangsa Melayu, Jepang, India, dll. Cuman anehnya, ada cerita-cerita binatang dari beberapa bangsa yang punya banyak persamaan. Seperti contohnya cerita Kancil yang lomba lari dengan Siput. Nah, ternyata cerita perlombaan dua binatang itu tidak hanya dimiliki oleh Indonesia, seorang. Tapi juga ada di India, Eropa, Jepang, dll. Yang berbeda adalah jenis binatangnya. Nah, kalau di Indonesia kan yang berlomba lari adalah Kancil dan Siput. Kalau di India beda lagi. Yang berlomba justru Kura-kura dan Burung Garuda yang dipercaya sebagai tunggangan Dewa Wisnu. Kalau di Eropa yang berlomba adalah Kura-kura dan Kelinci. Di cerita lain pun begitu juga.
Loh, kok bisa sih ada kesamaan cerita seperti itu? Jangan-jangan yang lainnya ngeplagiat lagi.
Hehehe, kayak kasusnya sinetron yang ngeplagiat drama aja ah. Sampai sekarang sih, belum ditemukan kebenarannya kayak gimana. Tapi ada lumayan banyak teori dari para sarjana yang seneng dongeng /heh yang mencoba menjawab pertanyaan di atas. Ada yang bilang karena cerita-cerita binatang itu sumber aslinya dari India, terus kesebar di Asia dan Eropa. Uhm… emang bener sih. Mengingat di India memang banyak ditemukan kumpulan cerita binatang yang katanya Liaw Yock Fang ‘masyhur’, macem cerita Jataka, Pancatantra, dan Sukasapti (dan penulis belum baca tiga-tiganya, hehe /plak). Soalnya, dalam pandangan orang-orang India tuh, semua makhluk—entah yang bentuknya dewa, jin, atau manusia, bahkan binatang—itu sama aja. Mereka percaya manusia itu kalau menititis (?) mungkin bakalan jadi binatang. Gitu juga binatang yang mungkin bisa jadi manusia juga. Jadi karena kepercayaan gitu kali ya binatang dibikin sama kayak manusia, bisa ngomong dan berpikir. Kalau misalnya manusia yang dibikin kayak binatang? Hm… mungkin banyak juga terdapat di dunia ini. Hehe.

Teori lain bilang beda lagi. Mereka berpendapat kalau cerita binatang tuh lahir dalam masyarakat yang primitif di mana saja. Jadi, gak mesti di India doang. Nah, masyarakat primitif ini kan manusianya masih tinggal di gua, terus tiap hari temenannya sama binatang aja. Jadi mereka lalu bergantung pada binatang buat hidup. Jadi, mereka tahu banget sifat-sifat binatang. Terus, binatang juga dikasih sifat-sifat manusia, dan bagi mereka perbedaan bentuk fisik tuh tidak penting. Duh, duh, duh, kayak Tarzan aja ya? Hehe. Salah satu contoh cerita binatang adalah Hikayat Pelanduk Jenaka.
  • Cerita jenaka
Cerita jenaka, ya berarti ceritanya jenaka. Kalau dari KBBI sih, arti dari jenaka adalah “membangkitkan tawa, kocak, lucu; menggelikan”. Jadi, kalau misalnya ada orang yang sukanya melucu, belum tentu jenaka karena belum tentu dia bisa membangkitkan tawa. Tapi, kalau ada orang yang gak ngomong aja udah bikin orang ketawa, nah berarti itu badut /hei!

Eh tapi, ternyata di kamus  A Malay-English Dictionary-nya R. J. Wilkinson, jenaka tuh memiliki arti, “wily, full of stratagem”. Jadi cerita jenaka itu bisa juga diartikan sebagai cerita mengenai tokoh yang lucu, menggelikan, atau licik dan licin.

Tahu gak sih, cerita jenaka tuh lahir karena manusia tuh lebay. Sebagai contoh tuh, kalau mau menceritakan kebodohan manusia, yang tercipta adalah tokoh yang bodoh banget. Kalau contoh di dalam cerita rakyat tuh, Pak Pandir. Kalau dalam kehidupan sehari-hari, silakan lihat TV aja dan pilih channel yang banyak acara lawak-lawakannya hehe.

Selain pembodohan, ada juga tuh, kalau mau menceritakan ke-hoki-an manusia, dibikin hoki banget, contohnya dalam cerita rakyat ya Pak Belalang. Terus kalau mau bikin tokoh licik, jadi licik banget kayak cerita Si Luncai. Kalau malang banget, ya kayak cerita Lebai Malang. Dan kalau mau yang lucu banget ya Abu Nawas.

Cerita jenaka tuh merupakan bagian dari sastra dunia. Kalau dalam sastra Jerman dan Belanda, ada tokoh terkenal yang namanya Uilenspiegel (uil: burung hantu, spiegel: cermin). Kalau dalam sastra Arab-Turki, ada yang namanya Jaha atau Khoja Nasreddin yang kalau dalam Arab-Parsi dikenal dengan nama Abu Nawas. Nah kalau dalam sastra Nuantara, orang Batak dikenal paling banyak tokoh-tokoh jenakanya, macem Ama ni Pandir, Si Lahap, Si Bilolang, dan Si Jonaha atau Jonaka. Terus Sunda juga punya Kebayan. Cuman Kebayan ini tuh lebih ke merangkum semua ciri cerita jenaka. Kadang dia bodoh banget, kadang-kadang dia juga licik, dan ada juga diceritain dia mujur dan selamat dari bahaya yang mengancamnya. Kalau dalam Sastra Jawa sih, cerita jenaka kurang berkembang. Apa karena orang Jawa suka serius, ya, makanya cerita jenaka gak laku. Hehe /plak. Uhm, tapi mungkin karena dalam pewayangan sendiri ada tokoh Punakawan yang selalu muncul dengan tingkah jenaka kayak Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong.
  • Cerita pelipur lara
Bahasa kerennya folk-romance. Orang Melayu sendiri yang namain kayak gituan. Kenapa? Karena cerita pelipur lara adalah jenis cerita yang berguna buat melipur hati yang lara, yang duka nestapa, dan galau. Nah, kan dulu gak ada yang namanya radio, TV, film. Jadi kalau lagi galau, makin merana deh karena sendirian, gak kayak anak muda jaman sekarang, yang galau dikit langsung pergi ke bioskop /heh.

Nah, karena itulah cerita pelipur lara jadi satu-satunya hiburan buat yang laranya terluka /elah ah. Kalau matahari sudah terbenam, terus orang kampung udah pada makan dan mulai istirahat, saat itulah si tukang cerita mulai beraksi. Bercerita dengan nada yang merata seolah-olah membaca dari sebuah kitab. Sampai larut malam, cerita itu terus berlanjut. Nah, kalau misalnya dalam satu malam aja belum selesai ceritanya, lanjut lagi ke malam berikutnya, dan episode dua dan seterusnya pun dimulai. Macem sinetron aja ye.

Nah, hebatnya tuh, si tukang cerita gak pernah bikin kesalahan dalam bercerita meskipun dia gak bisa baca tulis. Si tukang cerita ini dinamai sahibul hikayat, dan dia bercerita tuh demi mencari nafkah dari satu kampung ke kampung yang lain. Dan karena cuman si sahibul hikayat ini satu-satunya hiburan, so jelaslah kedatangannya selalu disambut hangat sama orang kampung.

25/05/14

Kleptomania yang 'Tidak Terpuji'

Saya sedang membereskan buku-buku yang ada di kamar saya saat saya menemukan sebuah buku kumpulan puisi yang saya 'ambil diam-diam' di perpustakaan sekolah saat saya masih SMA. Padahal saya sudah lulus SMA dua tahun yang lalu, tapi buku yang saya 'ambil diam-diam' itu masih ada di tangan saya hingga sekarang. Insiden 'mengambil diam-diam' itu pun terbersit kembali di pikiran saya.

Waktu itu, bukannya saya tidak bisa meminjam buku di perpustakaan sehingga saya harus mengambilnya tanpa sepengetahuan penjaga perpustakaan. Saya juga memiliki kartu perpustakaan yang bisa membantu saya meminjam buku itu. Atau, jika saya ingin memilikinya, saya punya cukup tabungan untuk membelinya. Tapi, entah mengapa saya lebih senang 'mengutil' buku itu daripada meminjamnya. Hal ini membuat saya teringat pada film The Adventures of Tintin: The Secret of The Unicorn, dimana ada salah satu tokoh yang menderita kleptomania alias mencuri dan mengoleksi barang-barang orang lain. Lalu, bertanya-tanya lah saya: "Apakah saya penderita kleptomania?"

Kata Wikipedia sih, kleptomania itu adalah salah satu penyakit jiwa dimana penderitanya tidak bisa menahan diri untuk mencuri benda-benda yang sebenarnya tidak berharga. Sebenarnya, benar tidak sih barang-barang yang 'dicuri' oleh para penderita kleptomania ini adalah barang-barang tidak berharga?

Kalau sekedar mencuri pulpen atau penghapus sih, mungkin tidak begitu berharga di mata orang awam (kecuali untuk para mahasiswa yang ngekos :3), sehingga apabila barangnya dicuri oleh Si Penderita Kleptomania, maka dia bisa membeli kembali. Nah, kalau barang yang jadi inceran Si Klepto adalah dompet, seperti tokoh di filmnya Tintin itu. Kan sayang juga. Ada uangnya, meskipun Si Klepto ini tidak memiliki keinginan untuk mempergunakan uang yang ada di dalamnya, atau menyalahgunakan identitas si pemilik sebelumnya, tapi hal-hal yang seperti itu pastilah sangat penting bagi orang yang menjadi korban Si Klepto ini.

Kenapa sih kok bisa si orang itu menderita Kleptomania?

Seorang Kleptomania mengambil sesuatu yang bukan miliknya, jelas bukan karena dia tidak mampu membeli apa yang diambilnya tersebut atau didasari dengan suatu tujuan tertentu. Nah, si Kleptomania ini berbeda dengan pencuri. Pencuri mengambil sesuatu karena memang memiliki niatan tertentu untuk memiliki barang tersebut dan dalam keadaan sadar. Misalnya pencuri dompet alias jambret, yang memiliki niatan mengambil uang yang ada di dompet yang dia ambil diam-diam lalu dia pergunakan. Nah, kalau Si Klepto ini tidak bisa dilukiskan kenapa dia harus mengambil barang orang lain. Contohnya aja saya, yang suka ngambil buku, tapi meskipun buku itu sudah ada di tangan saya dan saya bawa pulang ke rumah, saya malah bingung mau saya apakan. Mau dibaca, tapi kebanyakan buku itu justru tidak menarik perhatian saya. Kenapa saya mengutil buku tersebut juga karena ketika melihat buku tersebut, saya merasakan ada suatu keinginan spontan dan tidak bisa saya tahan untuk saya lakukan, dan ujung-ujungnya buku yang semula ada di rak buku, beralih ke saku atau tas saya.

Kalau menurut penjelasan biologis sih, seorang dengan Kleptomania ini karena kelainan zat kimia yang diproduksi mesin terhebat yang dia miliki alias otak. Nah, otak manusia memproduksi zat kimia neurotransmiter. Di antara banyak zat kimia tersebut, ada dua zat yang bernama serotonin dan dopamin. Fungsi zat serotonin itu adalah untuk mengontrol emosi dan mood. Sedangkan dopamin itu berfungsi untuk menimbulkan perasaan senang. Kalau mau tahu lebih lengkap mengenai dua fungsi zat ini, silakan googling sendiri. Hihihihi /plak.

Nah, seorang penderita Kleptomania ini adalah penderita golongan yang memiliki tingkat serotonin rendah, alias orang yang tidak bisa mengontrol dan menahan dirinya, kalau dalam bahasa kerennya yang gak keren sih, penderita kleptomania itu memiliki perilaku impulsif. Dan ketika seorang Kleptomania sudah melakukan dorongan hatinya, maka perasaan senanglah yang dia dapat, dan itu berhubungan dengan zat dopamin. Dan, hal itu selalu terjadi berulang kali selama seorang kleptomania tidak bisa mengontrol dirinya.

Nah, kalau penjelasan psikologis beda lagi /ya iyalah. Katanya, seorang yang menderita Kleptomania itu juga menderita gangguan psikologis lain, misalnya depresi, gangguan kecemasan, gangguan makan, dll. Kleptomania terjadi karena mood disorder yang dalam bahasa Indonesianya berarti gangguan suasana hati yang ternyata memiliki hubungan erat dengan zat serotonin dan dopamin yang sudah di jelaskan di atas.

Sejujurnya, saya tidak ingin menyebut diri saya sendiri menderita kleptomania, karena saya ogah dikatakan sebagai pencuri (walaupun kleptomania tidak bisa juga disebut sebagai pencuri, tapi tetap saja mengambil barang orang lain tanpa ijin itu adalah perbuatan tidak terpuji). Saya tidak menyesali apa yang telah saya perbuat di masa lalu (bahkan sampai sekarang), yang suka mengambil buku di perpustakaan dan tidak pernah mengembalikan buku dari perpustakaan atau perentalan, atau sekedar 'pinjam' dari teman. Meskipun saya merasakan perasaan gembira saat memiliki buku yang sebelumnya bukan milik saya. Tapi saya sendiri juga tidak bisa menyebut diri saya ini seorang pengoleksi buku karena cara saya mendapatkan buku itu pun sangat tidak terpuji dan mungkin akan menodai nama para 'Pecinta dan Pengoleksi Buku'. Tapi demi nama baik saya sendiri, saya berusaha seminimal mungkin berada di perpustakaan atau perentalan buku agar kebiasaan buruk saya ini tidak terjadi, sekaligus untuk mengontrol otak saya dalam memproduksi zat serotonin.

02/12/13

Penyebab Populernya Novel Dan Epos Bertema Sejarah


Ide tak pernah habis-habis di kepala para penulis, jika melihat dari semakin beragamnya novel-novel yang sering dijumpai di rak-rak di toko buku. Dengan pilihan tema beragam, pembaca yang haus akan bacaan dimanjakan dengan tulisan. Entah itu novel luar negeri seperti Harry Potter, Narnia, The Lord Of The Ring, dan lain-lain, maupun novel dari dalam negeri.

Namun tentu saja karena semakin banyaknya persaingan di pasaran menyangkut kepopuleran novel, para penulis pun berlomba-lomba mencari tema seunik dan semenarik mungkin agar novel mereka tidak tenggelam di tengah semakin banyaknya novel-novel baru yang diterbitkan. 
Yang menjadi faktor apakah novel itu akan terus berada di permukaan atau akan tenggelam, tentu saja adalah pembaca. Apabila pembaca dan novel tidak memiliki kesesuaian, maka tenggelamlah novel tersebut. Penulis harus mampu memberi ikatan yang kuat antara novel dengan pembaca, dan ini menjadi bagian persoalan kolektif masyarakat pembacanya.
Contohnya Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Kondisi kolonialisme dan serangkaian akibatnya yang harus ditanggung masyarakat pribumi telah mendorong novel ini terus-menerus mendapatkan pembacanya dalam lintasan generasi. Isu kolonialis yang rupanya tak pernah padam dan terdorongnya sikap-sikap nasionalisme sebagai cara untuk menemukan kehidupan yang damai dan sejahtera membuat pembaca sulit melupakan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Sementara itu, saat ini sulit sekali menemukan novelis sekelas Pramoedya pada generasi-generasi sesudahnya untuk tema yang sama.
Formulasi semacam ini rupanya berlaku juga kepada novel-novel yang mengangkat sejarah nusantara ketika sistem politiknya berupa kerajaan. Karya-karya ini memadati rak-rak toko buku, kulit buku bernuansa klasik bermunculan, penerbit-penerbit gencar mencari novel-novel sejenis. Serapan yang besar untuk beberapa judul semacam Senopati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto, Sabdo Palon karya Damar Shashangka, pancalogi Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi, Nagabumi karya Seno Gumira Ajidarma, dan Singgasana Terakhir Pajajaran karya Tatang Sumarsono. 
Novel-novel yang banyak pembacanya ini tidak menggunakan strategi pemasaran untuk meraih pembacanya sebagaimana pada umumnya dilakukan. Tidak ada resensi maupun ulasan yang muncul di berbagai media saat novel ini muncul. Boleh dikata untuk industri buku, novel ini tidak lain “kebetulan” belaka sehingga menjangkau pembacanya yang luas. 
Namun bila dicermati dari sudut bahan yang diceritakan akan terkuak kebetulan itu bukanlah kebetulan. Ingatan kolektif yang menjadi bagian bawah sadar masyarakat pembaca yang menentukan novel tersebut mendapatkan pembacanya. 
Senopati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto adalah contoh yang baik. Novel ini menempatkan kaum pesilat sebagai bagian dalam pergeseran kekuasaaan Kerajaan Singasari yang runtuh ke Kerajaan Majapahit. Pendekar silat seperti Upasara Wulung yang menguasai jurus bertepuk sebelah tangan adalah tokoh yang berperan dalam pertarungan mengalahkan para pendekar Kubilai Khan dari Mongol ketika dipecundangi di sekitar Tarik. Saat itu para prajurit telah berhasil membabat prajurit Jayakatwang yang diduganya prajurit Kerajaan Singasari yang sebetulnya telah runtuh lebih dulu.
Tidak ada Upasara Wulung dan tidak ada jurus bertepuk sebelah tangan itu berdasarkan data sejarah. Juga tidak ada para pendekar yang mampu merongrong kekuasaan Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit. Novel ini bertaburan pendekar silat yang menjadi bagian pendukung Singasari, Majapahit, Kediri, dan Kubilai Khan. Para pendekar silat, dalam novel ini, berperan dalam naik-turunnya kerajaan tersebut.
Namun, dalam sebuah karya fiksi tidak perlu klarifikasi apakah sebuah novel memperlihatkan kepada pembacanya sebagai kebohongan ataukah kenyataan. Pembaca hanya dahaga akan sebuah cerita yang menarik dan berpetualang ke masa lampau yang secara fisik tidak dialami ini. Apalagi dalam novel ini permainan para pendekar tidak berlaga saja dalam setiap 50 tahun untuk menemukan pesilat sejati, tetapi mereka terlibat intrik kekuasaan di lingkaran istana Singasari dan Majapahit. Bahkan, asyiknya, si Upasara Wulung dalam novel ini terjebak dalam asmara yang melibatkan Permaisuri Rajapatmi dan Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Dalam hal ini, novel Senopati Pamungkas yang tebal sekali untuk novel berbahasa Indonesia mampu menjadi pemuas dahaga pembaca. 
Hanya perlu dicatat perbedaannya dengan novel fantasi yang bahan ceritanya tidak bisa dirujuk dalam sejarah, novel ini masih bisa dirujuk dalam sejarah. Senopati Pamungkas tetap menggunakan alur sejarah utama, yaitu Singasari jatuh setelah prajuritnya dikerahkan untuk mengamankan Selat Malaka dari prajurit Tartar dan pada saat itu Jayakatwang dari Kediri menyerang Kerajaan Singasari sampai menimbulkan kematian rajanya, Kertanegara. Setelah itu, Raden Wijaya diberi tanah perdikan di daerah Tarik. Dari sana prajurit Tartar yang hendak membalas dendam ditipu dan ditumpas oleh pasukan Raden Wijaya.
Artinya, kerangka kesadaran sejarah dipertahankan oleh pengarang, sementara kisahnya dipenuhi oleh para pesilat. Kepedulian konflik dan intrik politik yang mengaduk di lingkaran istana yang memukau dalam novel ini mengikatkan pada pembaca kepada sejarah yang bergolak di wilayah Jawa Timur. 
Sementara itu, novel Nagabumi1 dengan cara nyaris sama dengan alur tidak serumit Senopati Pamungkas mengangkat Mataram kuno pada saat Candi Borobudur dibangun dan kaitannya dengan Kerajaan Sriwijaya. Hanya saja, dalam novel Nagabumi 1 perspektif kekuasaan demikian menonjol sekaligus gamblang melalui kisah tulisan Pendekar Tanpa Nama, sekalipun tidak ada keinginan sebiji padi pun pada diri tokoh utama untuk berada atau dekat dengan lingkaran para rakai di istana Mataram Kuno. Ikatan sejarah itulah yang menjadi daya tarik utama akan novel Gajah Mada, Sabdo Palon dan Singgasana Terakhir Pajajaran serta karya novel-novel sejenis.
Ketika sebuah novel, apa pun jenisnya, telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat luas ia bisa disebut sebagai benda budaya. Novel itu tidak behenti sebagai bacaan ringan melainkan suatu dialektika antara apa yang dibaca dan pengalaman yang mengendap di dalam diri pembaca. Pembaca dengan serangkaian ingatan kolektifnya menemukan realitas yang terbayangkan bagaimana sebenarnya dirinya berada dalam deretan sejarah yang tak berhingga. Artinya, individu di alam pikiran modern yang bagai debu tak beridentitas kecuali sejauh mana banyaknya materi dan posisi sosial, mendapatkan landasan genealogisnya untuk mengetahui posisinya di jagat waktu tak bertepi. Novel-novel ini memberi fase sebagai sarana berefleksi keberadaannya kepada pembaca pendukungnya.
Di sini pembaca menentukan sekali keberadaan novel-novel tersebut. Pembaca tidak harus seturut dengan pendidikan sejarah yang dilesakkan oleh negara bagaimana mencerna dan mengetahui paparan sejarahnya. Mereka dengan suka hati memilih mana novel sejarah yang sesuai dengan latar belakang riwayat asal-usul sejarahnya dan mana yang bertolak belakang. Pembaca yang berasal dari latar belakang Aceh barangkali akan suka hati memilih novel Burung Rantau Pulang ke Sarang karya  berasal dari dataran Sulawesi akan membaca novel La galigo karya Abdul Rahman, dan untuk pembaca di dataran Sumatera akan memilih Bumi Sriwijaya karya Bagus Dilla. Sementara pembaca dari tlatah Sunda suka membaca Gajah Mada Musuhku karya Hermawan Aksan untuk pembaca di kalangan Sunda, dan seterusnya. Atau, bisa juga, pembacara menentukan novel sejarah bacaannya bersandar pada keingintahuan pada ranah sejarah atau budaya lokal lain yang berbeda.
Dengan demikian, menguatnya novel-novel berlatar sejarah yang ada di nusantara ini sudah seyogyanya mendapat perhatian yang mencukupi dalam bentuk apresiasi publik yang memadai. Memadai dalam arti sebuah tindakan kritis berupa penyelaman pada tataran literer maupun pendalaman materi sejarahnya. Tataran literer akan terkuak sejauh mana kemampuan bercerita telah berkembang dalam penulisan novel sejarah nusantara ini. Sementara pada tataran materi masuk pada wilayah sejauh mana penggalian sejarah telah dilakukan para penulis novel. Kemudian materi yang digali tersebut terpapar dalam narasi novel sehingga menunjukkan kemampuan seorang penulis novel dalam menafsirkan materi sejarah tersebut.

12/11/13

Modus Keberadaan Karya Sastra


Apakah puisi yang ‘sebenarnya’ itu?

Selama ini, ada banyak jawaban atas pertanyaan di atas.

Jawaban 1

Puisi merupakan sebuah ‘artefak’, sebuah objek yang sama dengan lukisan atau patung. Karya sastra bisa disamakan dengan garis-garis hitam pada kertas putih, atau naskah kuno, atau seperti puisi di Babilonia—tulisan yang ditatah pada batu bata.

Namun, banyak puisi dan cerita yang tidak pernah dituliskan, dan karya itu tetap bertahan hingga sekarang. Ini artinya, tulisan hanyalah cara menyalin sastra. Sebab, pemusnahan cetakan buku sastra bisa tidak menyentuh karya sastra sama sekali, dan berbeda dengan penghancuran lukisan atau patung dan bangunan.
Jika anggapan mengenai puisi adalah sebuah artefak ini diberi tanggapan serius, maka disimpulkan bahwa setiap buku—atau paling tidak edisi cetakan yang berbeda—adalah karya yang berbeda. Karena, sering ditemukan kesalahan cetak pada teks yang kemudian tak jarang teks tersebut diperbaiki untuk memulihkan makna aslinya. Dengan demikian, dapat dibuktikan bahwa puisi dapat hidup di luar cetakan, dan banyak unsur dari artefak barang cetakan tidak termasuk unsur puisi.

Tidak dapat disangkal bahwa banyak karya sastra yang lenyap dan musnah karena tulisannya hilang. Sarana trafisi oral yang secara teoretis bisa dipakau untuk menyelamatkannya, ternyata gagal berfungsi atau terputus. Tulisan—terutama cetakan—telah memungkinkan kesinambungan sejarah sastra, serta banyak meningkatkan keutuhan dan kesatuan karya sastra.

Dalam periode-periode tertentu dalam sejarah puisi, lukisan grafis telah menjadi bagian dari puisi. Ideogram yang berbentuk gambar pada puisi Cina, merupakan bagian dari makna puisi. Pada tradisi Barat juga ada puisi grafis dan puisi-puisi metafisik yang bisa disamakan dengan gongorisme di Spanyol, marinisme di Italia, dan puisi Barok di Jerman. Teknik-teknik ini merupakan bagian integral dari karya sastra. Meskipun sebagian besar karya sastra tidak memakainya, teknik grafis tidak dapat diabaikan.

Selain itu, fungsi cetakan pada puisi tidak terbatas pada hal-hal yang luar biasa seperti contoh-contoh di atas, tapi juga faktor integral dalam karya sastra. Percetakan telah merupakan bagian penting dari penciptaan puisi modern, karena pusii juga dibuat untuk dilihat, bukan hanya untuk didengar.

Jawaban 2

Puisi dianggap sebagai urutan bunyi yang diucapkan oleh pembaca karya sastra, sebagai inti dari karya sastra.

Namun, setiap pembacaan puisi adalah penyajian puisi, dan bukan puisi itu sendiri. Kita melihat tulisan sebagai suatu kesatuan, dan tidak memotong-motongnya menjadi fonem. Asumsi bahwa puisi ada dalam pembacaan puisi, menghasilkan kesimpulang yang aneh: puisi tidak ada kalau tidak dibacakan, dan puisi selalu diciptakan kembali pada setiap pembacaan.

Pembacaan puisi tidak hanya menambahkan beberapa unsur luar, tetapi menunjukkan seleksi komponen yang tersirat dari teks, dan ini membuat setiap pembacaan puisi selalu muncul unsur-unsur yang melebihi puisi itu sendiri. Ini berarti puisi dapat berada di luar penyajian lisannya, dan penyajian lisan itu mengandung unsur-unsur yang tidak termasuk unsur puisi.

Jawaban 3

Puisi adalah pengalaman pembacanya. Sebuah puisi tak lebih dari proses mental masing-masing pembaca; jadi, sama dengan keadaan mental atau proses yang kita rasakan ketika membaca atau mendengarkan puisi.
Namun jawaban ini mendapatkan banyak penyangkalan. Pengalaman itu tidak dapat disamakan dengan puisi itu sendiri, sebab itu artinya pembaca yang kurang atau tidak berpengalaman tentu lebih banyak membuat distorsi dan lebih dangkal pemahamannya.

Pandangan bahwa pengalaman mental pembaca adalah puisi itu sendiri, mengarah pada kesimpulan puisi itu tidak ada kecuali kalau dialami dan diciptakan kembali dalam setiap pengalaman pembaca. Kalau ini ditanggapi secara serius, tidak mungkin menjelaskan mengapa pengalaman pembaca puisi yang satu lebih baik dari pembaca lainnya, dan mengapa kita dapat mengoreksi pengalaman pembaca lain.

Biarpun menarik dan bermanfaat untuk pendidikan, psikologi pembaca akan selalu berada di luar objek studi sastra—yakni karya sastra yang nyata—, dan tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang struktur dan nilai karya sastra. Teori-teori psikologis adalah teori dampak dan bisa mengarah pada hal-hal yang ekstrem seperti kriteria nilai yang diusulkan oleh A.E. Housman yang menyatakan bahwa puisi yang baik dapat dirasakan dari getaran pada syaraf tulang punggung kita.

Teori-teori psikologis cenderung menghasilkan anarki, skeptisisme, dan kerancuan nilai karena tidak berkaitan dengan struktur atau kualitas puisi. Makna penuh puisi tak akan pernah didapatkan dan pasti ada unsur-unsur pribadi yang ditambahkan pada waktu membaca.

Jawaban 4

Puisi adalah pengalaman penyair (kita dapat menolak pandangan bahwa puisi adalah pengalaman penyair pada waktu tertentu sesudah ia menciptakan karya sastra, yaitu pada saat ia membaca ulang puisinya.
Mungkin yang dimaksud pengalaman pengarang di sini adalah pengalamannya ketika mencipta. Istilah ini bisa berarti dua hal. Pengalaman yang sadar, maksud pengarang yang ingin diwujudkan dalam karyanya, atau pengalaman yang sadar dan tidak sadar selama waktu penciptaan yang diperpanjang.

Karena, maksud pengarang bisa melebihi karyanya. Seniman sering dipengaruhi oleh selera dan formula kritik pada zamannya, ketika ia menyatakan maksudnya, tetapi formula itu mungkin tidak memadai untuk mencirikan keberhasilan artistik seniman. Perbedaan antara maksud sadar dan perwujudan karya sastra adalah fenomena umum dalam sejarah sastra.

Maksud pengarang bukan merupakan komentar yang akurat tentang karyanya, atau tak lebih dari sebuah komentar. Kalau yang dimaksud adalah bagian-bagian integral dari karya sastra yang membantu kita dalam mendapatkan makna yang menyeluruh.

Teori ini mempunyai kekurangan karena meletakkan masalah pada suatu faktor x yang masih merupakan hipotesis dan sulit diukur. Pengalaman pengarang selama mencipta berhenti begitu puisi itu selesai diciptakan. Kita hanya membuat asumsi bahwa pengalaman kita membaca puisi sama dengan pengalaman penyairnya. Kita cenderung melakukan spekulasi yang tak jelas arahnya tentang isi pikiran itu dan lamanya pikiran itu berlangsung pada saat penciptaan.

Cara yang lebih baik adalah membuat batasan karya sastra yang berkaitan dengan pengalaman sosial dan kolektif. Ada dua kemungkinan pemecahan: 1. Kita bisa mengatakan bahwa karya sastra adalah jumlah keseluruhan pengalaman masa lampau dan pengalaman yang mungkin terjadi. 2. Puisi yang ‘sebenarnya’ ada dalam penalaman yang sama dengan semua pengalaman pembaca puisi.

Puisi bukanlah pengalaman perorangan maupun gabungan pengalaman. Puisi hanya merupakan suatu penyebab potensial dari pengalaman. Puisi yang ‘sebenarnya’ harus dilihat sebagai struktur norma yang diwujudkan sebagian melalui pengalaman pembaca. Norma yang dimaksud di sini adalah norma yang tersirat yang harus dikeluarkan dari setiap pengalaman membaca karya sastra, dan yang secara keseluruhan membentuk karya sastra. Dari kesamaan yang didapan ketika membandingkan beberapa karya sastra, kita menyusun klasifikasi norma yang diwujudkannya. Di sini kita sampai pada teori genre dan teori sastra pada umumnya.

Kalau kita menganalisi karya sastra lebih teliti, kita akan menyimpulkan bahwa lebih baik kita melihat karya sastra bukan saja sebagai suatu sistem norma, melainkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari beberapa strata—tiap strata mempunyai kelompok yang lebih kecil.

Karya sastra sama kedudukannya dengan sistem bahasa. Sistem bahasa merupakan kumpulan konversi dan norma yag cara bekerja dan hubungannya dapa diamati dan dilihat sebagai sesuatu yang koheren, walaupun ujaran tiap orang berbeda, tidak sempurna, dan tidak lengkap.

Struktur karya sastra menawarkan ‘kewajiban untuk dipahami’. Mungkin pemahaman kita tidak sempurna, tetapi ‘struktur penentu’ itu ada pada karya sastra dan dapat kita cari, seperti halnya setiap objek pengetahuan yang lain.

Analisis karya sastra menghadali masalah-masalah, yakni cara memecahkan unit makna dan susunan tertentu yang berfungsi estetis. Untuk memecahkan masalah ini dengan bak, kita harus menyelesaikan kontroversi antara nominalisme dan realisme, mentalisme, dan aliran behaviourisme. Itu artinya kita harus menyelesaikan masalah epistemologi.

Kritikus tidak harus berperan sebagai manusia super yang dapat mengkritik pemahaman orang dari luar atau mengaku menangkap seluruh sistem norma dalam suatu tidnak intuisi intelektual. Yang harus dilakukan adalah mengkritik sebagian dari pengetahuan kita dari sudut pandang standar yang lebih tinggi yang ditetapkan oleh pihak lain. Kita meletakkan diri sebagai orang yang membandingkan objek yang dilihat secara jelas dan objek yang kurang jelas, lalu membuat generalisasi tentang dua macam objek yang digolongkan dalam dua kelas, dan menjelaskan perbedaannya melalui teori penglihatan yang memperhitungkan jarak, cahaya, dan seterusnya.

Dengan memakai analogi ini, kita membedakan pemahaman puisi yang salah dan yang benar, antara pengakuan norma dan distrosi norma yang tersirat dari karya sastra. Karya sastra bukan kenyataan empiris dalam arti: ada dalam pikiran orang tertentu atau kelompok orang tertentu. Karya sastra juga bukan objek ideal yang tidak dapat berubah. Karya sastra dapat menjadi objek pengalaman, tetapi tidak sama dengan pengalaman.

Karya sastra mempunya ‘kehidupan’. Ia lahir pada suatu waktu tertentu, mengalami perubahan dan dapat musnah. Meskipun begitu, karya sastra juga bersifat historis karena perkembangannya dapat diuraikan.

Referensi:

Wellek, Rene, Austin Warren. 1949. Theory of Literature. California: Harcourt, Brace, & Company.